Bantuan sumur bor dan pipanisasi menjadi andalan warga di sejumlah desa untuk mendapatkan pasokan air bersih termasuk untuk pertanian. Tercatat sekitar 27 kilometer pipanisasi yang sudah dibangun di sejumlah desa di Kecamatan Cugenang dan Pacet yang kehilangan sumber air setelah gempa.
Kesulitan mendapatkan sumber air sudah terjadi sebelum gempa mengguncang Cianjur November 2022, meski perkampungan mereka terletak di bawah kaki Gunung Gede yang seharusnya kaya dengan sumber air.
Selama ini mereka mengandalkan air untuk pertanian dari air hujan yang ditampung di dalam kolam-kolam plastik yang dibuat di tengah kebun, sedangkan untuk kebutuhan air rumah tangga mereka mengandalkan pasokan air dari bak penampungan dari rumah warga yang mampu membuat sumur bor.
"Ketika gempa terjadi kami makin sulit karena warga tidak mampu membuat sumur bor yang biayanya sangat mahal. Ada warga yang mampu membuat pipanisasi dengan biaya sendiri dari sumber mata air yang jaraknya mencapai 5 kilometer," kata tokoh masyarakat Cugenang, Miftah.
Sumur bor dari warga yang memiliki rezeki lebih dimanfaatkan warga untuk membuat sambungan ke rumah-rumah dan bak penampungan yang dapat digunakan bersama namun menunggu pemilik memberikan izin setelah bak penampungan di rumahnya penuh.
Tidak sedikit warga yang akhirnya mengelola pendistribusian air mengeluarkan biaya patungan termasuk biaya operasional dan perawatan pipanisasi yang sudah dibangun pertama kali oleh warga yang lebih dulu memasang pipa dari sumber mata air atau sumur bor.
Bahkan beberapa desa menjadikan sumber mata air yang tersambung dari pipanisasi didistribusikan ke rumah warga dengan cara berbayar layaknya perusahaan air minum atau disebut perusahaan air desa, dengan tarif pemasangan awal berkisar antara Rp200 ribu sampai Rp500 ribu per sambungan.