Indramayu (ANTARA) - Keriput di wajah Toharoh seakan menjadi prasasti yang dipahat oleh waktu. Namun, di balik guratan renta itu, ia menolak uzur dan jemarinya pun masih bisa digerakkan dengan sangat lentur.
Tangannya begitu cekatan kala menorehkan canting, mengikuti pola yang terhampar di atas sehelai kain mori berwarna putih. Meski sepuh dan pandangannya mulai kabur, sorot matanya tetap fokus. Lengan kanannya terus menggoreskan ujung canting tersebut.
Perempuan berusia delapan dasawarsa itu masih setia berkutat dengan pekerjaannya sebagai pembatik.
“Saya besar dari keluarga pembatik,” ucapnya dengan suara parau saat ditemui ANTARA di Desa Terusan, Kecamatan Sindang, Indramayu, Jawa Barat, pada akhir Agustus 2025.
Ia telah menekuni batik sejak umur 12 tahun dengan belajar langsung dari keluarganya. Pada usia senjanya, ilmu yang diwariskan tersebut masih menempel erat dalam kesehariannya.
Toharoh kini diberdayakan untuk menggarap batik pada salah satu workshop di Desa Terusan.
Selepas mengikuti pengajian di mushola kampung, biasanya Toharoh bergegas ke lokasi supaya bisa langsung bekerja.
Ia butuh waktu tiga hingga empat hari untuk menuntaskan sehelai batik tulis khas dari desanya. Tak ada yang tergesa karena semua dilakukan dengan penuh ketekunan.
Hanya segelintir orang di desanya yang masih menguasai teknik membatik. Toharoh menjadi salah satunya, bersama beberapa perajin lain yang rata-rata telah berusia lanjut.
Baginya aktivitas ini adalah laku hidup, penawar rindu, sekaligus merawat jejak warisan dari para leluhur.
