Sejak lulus kuliah pada 2007, Indra fokus pada batik dengan pewarna alam. Ia sempat belajar di Yogyakarta, lalu menerapkannya di Indramayu.
Di Indramayu, termasuk di desanya, kaya sumber pewarna. Daun dan kulit mangga misalnya, dapat menghasilkan warna hijau hingga kuning kecokelatan.
Kemudian ada kulit kayu mahoni yang memberi rona cokelat kemerahan. Sedangkan tanaman indigofera menghasilkan biru pekat.
Semua bahan itu diolah secara tradisional yaitu direbus, direndam, lalu dipakai untuk pencelupan.
Proses pewarnaan membutuhkan waktu lama. Satu kain bisa dicelup enam kali agar warnanya meresap sempurna. Penggunaan fiksasi seperti tunjung dan tawas sangat diperlukan, untuk mencipta tampilan yang memesona.
“Prosesnya minim limbah, karena bahan pewarna tadi bisa habis digunakan beberapa kali,” tuturnya.
Dengan pewarna alam, kata dia, batik yang diproduksi memiliki nilai tambah di mata pembeli.
Ketika UNESCO mengakui batik sebagai warisan budaya tak benda, permintaan batik pewarna alam melonjak. Apalagi penggunaan bahan ini lebih ramah lingkungan.
Memberdayakan
Dalam kondisi ramai pesanan, produksi batik complongan bisa mencapai 60 helai kain. Prosesnya melibatkan sekitar 70 perajin yang bermitra dengan Indra, termasuk empat penyomplong khusus.
Adapun upah untuk satu kain complongan bisa mencapai Rp300 ribu, belum termasuk pewarnaan.
