Bangkit
Perjalanan batik tulis complongan tidak selalu mulus. Meski sudah ada sejak zaman penjajahan, geliatnya redup beberapa dekade.
Setelah kemerdekaan, tepatnya pada 1948, Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) dibentuk. Indramayu menjadi anggota, namun aktivitas koperasi perlahan menurun.
Wastra khas Indramayu itu pun ikut meredup, digeser oleh batik lain yang lebih komersial. Kebangkitan baru muncul menjelang 2019, ketika persiapan sertifikat Indikasi Geografis (IG) dimulai.
Pada 2022, complongan resmi terdaftar dalam IG. Sertifikat itu menjadi pengakuan resmi atas kualitas, karakteristik dan reputasi batik tersebut yang hanya ada di Indramayu.
Sejak itu permintaan meningkat tajam. Pada Gelaran Batik Nasional (GBN) 2023, Indra membawa 40-50 helai complongan. Semua habis terjual bahkan sebelum pameran berakhir.
Stok ratusan helai yang disiapkan sebelumnya pun ludes terjual. “Saat itu puncak-puncaknya penjualan complongan,” kenangnya.
Warna dari alam
Kepada ANTARA, Indra melanjutkan cerita, seraya mengingat kembali momen saat dirinya memantapkan niat untuk terjun ke industri batik.
Sejak kecil dirinya akrab dengan bau malam panas dan warna-warna yang melekat di kain. Buyut, kakek, hingga orang tuanya adalah perajin. Begitu pula beberapa tetangganya.
Saat banyak perajin memilih berhenti, Indra justru bertahan. Ia yakin complongan punya nilai yang tidak bisa digantikan batik printing. Langkahnya pun semakin kuat untuk mendirikan usaha sendiri.
Kendati tak punya bakat untuk menggambar pola, ia tetap teguh pada pendiriannya dan memilih bidang lain dalam industri ini, yakni pewarnaan.
