Dari omzet, Indra menyebut bisa mencapai lebih dari Rp100 juta. Namun dalam sebulan, penjualan rata-rata berada di kisaran Rp50 juta hingga Rp70 juta.
Harga batik bervariasi. Untuk batik tulis pewarna alam, nilainya bisa menembus Rp1,5 juta hingga Rp5 juta per helai.
Pasarnya tidak hanya di Indramayu, tapi merambah ke Jakarta hingga luar negeri. Bahkan beberapa orang dari Jepang dan negara lain menaruh minat tinggi terhadap batik complongan. Kebanyakan dari mereka kepincut terhadap kerumitan serta kecantikan motif.
Meski pasar berkembang, regenerasi perajin menjadi persoalan serius. Dari 70 sampai 100 pembatik di Indramayu sebagian besar berusia di atas 50 tahun.
Ia menuturkan anak-anak muda jarang yang mau belajar, karena membatik membutuhkan ketekunan dan waktu panjang.
Menurutnya membatik tidak bisa dipelajari dalam sehari. Jika mencoba tanpa bimbingan ekstra, mereka biasanya cepat menyerah.
Padahal, banyak kisah sukses lahir dari membatik. Ada perajin yang mampu berangkat haji, menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi, bahkan membeli kendaraan dari pekerjaan ini.
“Kalau ditekuni dan menemukan pasarnya, pasti batik ini sangat menjanjikan,” katanya.
Kendati begitu, dirinya tetap percaya eksistensi teknik complongan tidak akan tergerus oleh kemajuan zaman.
Dari yang semula hanya satu penyomplong, kini sudah ada sepuluh orang yang menekuni teknik ini.
Ia berkomitmen untuk merangkul para pembatik di desanya, sekaligus memberdayakan mereka supaya complongan bisa bertahan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menjaga napas batik complongan di tengah senja perajin tua
