Selain Toharoh, ada pula Ratinah. Perempuan paruh baya yang sehari-hari terlibat menggarap batik di workshop tersebut.
Tiga orang anak Ratinah sudah beranjak dewasa, tetapi tak satu pun melanjutkan tradisi yang ia jalani. Padahal, perempuan ini mewarisi keahlian langsung dari neneknya.
“Nenek saya dulu membatik, sekarang dilanjutkan lagi oleh saya,” ujarnya.

Saban hari ia mengerjakan bagian complongan, yakni teknik melubangi kain dengan jarum-jarum mungil hingga membentuk corak berupa titik-titik rumit yang begitu distingtif.
Pekerjaan itu memang menuntut kesabaran tinggi. Lubang-lubang kecil harus dibuat teratur, rapi dan sesuai pola yang sudah ditutup lilin.
Sekilas tampak sepele, tapi di situlah letak keistimewaan dari wastra asli Indramayu bernama batik tulis complongan.
Saking dibutuhkannya konsentrasi yang begitu tinggi, Ratinah hanya dapat menuntaskan proses ini dalam sehari untuk sehelai kain.
Teknik complongan tetap mengikuti alur membatik pada umumnya. Kain diberi motif, dilapisi lilin, kemudian diwarnai.
