Sebelumnya, sejumlah warga di Kota Cirebon mengeluhkan kenaikan tarif PBB-P2, karena dinilai memberatkan serta berpotensi menambah beban ekonomi masyarakat.
Puluhan warga yang tergabung dalam Paguyuban Pelangi Cirebon itu meminta pemerintah daerah meninjau kembali kebijakan, yang diatur dalam Perda Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi.
Juru Bicara Paguyuban Pelangi Cirebon Hetta Mahendrati mengatakan kenaikan PBB tersebut dirasakan sebagian besar warga dengan besaran bervariasi mulai dari 100 hingga 200 persen, bahkan ada yang mencapai 1.000 persen.
Atas dasar tersebut, pihaknya meminta pemerintah daerah membatalkan kebijakan itu dan mengembalikan tarif PBB-P2 sesuai ketentuan pada 2023.
Ia pun mencontohkan Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang membatalkan kenaikan PBB sebesar 250 persen setelah mendapat masukan dari masyarakat.
Paguyuban tersebut menyampaikan empat tuntutan utama, yakni pembatalan Perda Nomor 1 Tahun 2024, pengembalian tarif sesuai tahun 2023, penegasan tanggung jawab pejabat terkait, dan imbauan kepada pemerintah daerah untuk mencari sumber pendapatan asli daerah (PAD) lain di luar pajak.
Pemkot Cirebon pada Februari 2025 sudah menerapkan skema relaksasi PBB-P2, berupa potongan bagi wajib pajak yang membayar lebih awal.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Kota Cirebon Mastara menjelaskan potongan diberikan bervariasi, yaitu 20 persen untuk pembayaran 13 Februari-30 April, 15 persen untuk 1 Mei-30 Juni, dan 10 persen untuk 1 Juli-30 September 2025.
Kebijakan tersebut diharapkan mendorong kepatuhan membayar pajak tepat waktu. Tahun ini, pemerintah daerah menargetkan penerimaan PBB-P2 sebesar Rp70,42 miliar dari potensi Rp75,89 miliar, dengan 86.081 lembar Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang diterbitkan.
BPKPD menilai kontribusi PBB-P2 terhadap total penerimaan pajak daerah Kota Cirebon pada 2025, diperkirakan mencapai 18,30 persen dari proyeksi Rp384,66 miliar.
