Jakarta (ANTARA) - Pengamat manajemen kesehatan lulusan Universitas Airlangga dr. Puspita Wijayanti menyebutkan perlu adanya sistem pemantauan berkelanjutan atas kesehatan jiwa peserta PPDS, karena skrining psikologis dan kejiwaan di awal seleksi saja tidak cukup.
Hal itu dia sampaikan terkait kasus kekerasan seksual di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung yang dilakukan PAP, tersangka yang merupakan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran Program Studi Anestesiologi. Tersangka melakukan aksinya terhadap seorang anggota keluarga dari pasien.
"Pemeriksaan psikologis saat seleksi hanya memberikan foto diam (static snapshot) dari kondisi mental kandidat pada titik waktu tertentu. Ia berguna sebagai filter awal, tetapi tidak memiliki fungsi prediktif terhadap kondisi psikis di kemudian hari," ujar Puspita dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurutnya, dalam sistem pendidikan kedokteran yang dikenal dengan tekanan tinggi, jam kerja panjang, beban emosional dari pasien, relasi hierarkis yang kadang keras, serta kultur kompetisi, kondisi mental peserta didik bisa berubah secara drastis.
“Kesehatan jiwa dalam pendidikan klinik bukan perkara lolos tes awal, tetapi bagaimana sistem secara aktif memantau, mendeteksi, dan merespons dinamika psikologis yang berkembang selama proses pembelajaran,” katanya.
Namun kenyataannya, banyak rumah sakit pendidikan dan institusi akademik belum memiliki mekanisme pemantauan psikologis yang bersifat berkelanjutan, sistematis, dan adaptif. Tidak ada evaluasi psikologis periodik, tidak ada intervensi dini berbasis observasi lapangan, dan lebih parahnya lagi, tidak ada tempat aman untuk mengakui kerentanan psikis tanpa takut stigma.
Oleh karena itu, ujarnya, perlu ada sejumlah langkah, seperti evaluasi psikologis berkala sebagai bagian dari kurikulum tersembunyi pendidikan dokter spesialis, dilakukan setiap 6 bulan atau tiap transisi rotasi besar.