"Rumah sakit pendidikan perlu membentuk Unit Kesehatan Mental Internal yang independen dari struktur akademik, dengan akses langsung ke peserta didik dan kerahasiaan terjamin. Harus ada mekanisme self reporting dan peer alert system, di mana peserta bisa mengakui beban mental atau melaporkan rekan yang mengalami tekanan berat tanpa risiko diskriminasi," kata dia.
Menurutnya, program residen harus dibekali dengan pelatihan mekanisme koping, mengatur emosi, dan pengambilan keputusan etis di kala stres, sebagai bagian dari kompetensi nonklinis.
"Karena ketika tekanan tidak dikawal, burnout bisa menjelma menjadi disosiasi. Ketika kesehatan jiwa diabaikan, luka internal bisa berubah menjadi kekerasan eksternal. Dan ketika sistem menutup mata, maka seluruh ekosistem pendidikan kedokteran ikut bersalah, bukan hanya pada kegagalan individu, tetapi pada gagalnya peradaban medis yang seharusnya menjaga," katanya.
Sebelumnya, di media massa dikabarkan bahwa PAP memiliki somnophilia, yakni ketertarikan seksual atau fetish terhadap orang pingsan. Akan tetapi, penyidik masih akan mendalami pengakuan tersebut melalui pemeriksaan psikologi forensik.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jabar Komisaris Besar Polisi Hendra Rochmawan di Bandung, Rabu, mengatakan bahwa kasus tersebut terjadi pada 18 Maret 2025. PAP (31), katanya, melakukan aksinya saat korban dalam kondisi tidak sadarkan diri setelah disuntik cairan bius melalui selang infus.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ahli: Perlu pemantauan kejiwaan peserta PPDS secara berkelanjutan