Jakarta (ANTARA) - Pengamat manajemen kesehatan lulusan Universitas Airlangga, dr. Puspita Wijayanti, menyebutkan, kekerasan seksual di RSHS Bandung bukan hanya persoalan kriminal, namun juga menyoroti pentingnya evaluasi menyeluruh, salah satunya terkait akses peserta PPDS ke obat-obatan berisiko tinggi.
"Obat anestesi termasuk dalam kategori high alert medication, yakni obat yang berisiko tinggi menyebabkan cedera serius atau kematian jika digunakan secara tidak tepat. Karena itu, pengelolaannya harus ketat, transparan, terdokumentasi, dan terbatas hanya untuk tenaga medis yang berwenang," kata Puspita dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Ia menyebutkan bahwa dalam kasus ini yang perlu diperhatikan adalah seorang peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) tidak seharusnya memiliki akses bebas terhadap obat anestesi, apalagi menggunakannya di luar kerangka pelayanan pasien yang sah.
Apabila hal itu terjadi, katanya, maka ada dua pelanggaran besar, yakni akses tidak sah terhadap obat berisiko tinggi, dan penggunaan tanpa otorisasi klinis.
Di Indonesia, katanya, penggunaan anestesi diatur dalam berbagai regulasi, antara lain UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, di mana sebagian obat anestesi dikategorikan sebagai obat keras dan narkotika tertentu, yang penggunaannya tanpa izin atau tanpa indikasi dapat dikenai sanksi pidana.
Selain itu, katanya, Permenkes No. 72 Tahun 2016 tentang Pelayanan Kefarmasian di RS yang mengharuskan obat high-alert disimpan dalam sistem tertutup, diberi label khusus, dan penggunaannya melibatkan verifikasi ganda serta dokumentasi lengkap dalam logistik dan rekam medis pasien.
Dia melanjutkan, standar internasional seperti Joint Commission International (JCI) dan pedoman Institute for Safe Medication Practices (ISMP) pun menegaskan bahwa obat-obatan seperti anestesi hanya boleh diakses melalui akses terbatas, bersertifikasi, dan bisa dilacak (traceable). Standar-standar itu, katanya, juga menekankan pentingnya pengawasan farmasis dan pembimbing klinik, khususnya dalam konteks rumah sakit pendidikan.
“Jika obat anestesi bisa keluar dari sistem distribusi resmi dan digunakan tanpa supervisi, maka itu bukan hanya kelalaian individu. Itu adalah tanda kegagalan struktural dari tata kelola obat, sistem pelaporan, hingga pengawasan klinis,” ujarnya.