Puspita mengaku prihatin atas kasus tersebut. Oleh karena itu, dia pun menyarankan agar sistem pengelolaan obat di RS pendidikan segera diperkuat dengan sejumlah langkah, seperti audit menyeluruh sistem logistik anestesi dan obat risiko tinggi berbasis teknologi (e-logbook, sistem fingerprint/OTP).
"Pembatasan akses hanya untuk tenaga medis definitif yang sudah tersertifikasi dan terverifikasi digital. Penerapan sistem recheck farmasi oleh dua pihak untuk setiap pengeluaran obat risiko tinggi," dia melanjutkan.
Kemudian, penegakan kewajiban pendampingan klinis bagi peserta didik yang menjalankan tindakan medis, termasuk dalam penggunaan obat.
“Obat bukan sekadar barang medis. Ia bisa menjadi alat kekuasaan, ancaman, bahkan senjata jika sistem gagal menjaganya,” ujar dia menuturkan.
Sebelumnya, Universitas Padjadjaran (Unpad) mengeluarkan seorang dokter yang tengah menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, menyusul dugaan keterlibatannya dalam kasus kekerasan seksual terhadap keluarga pasien.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ahli: Kasus RSHS soroti perlunya pengawasan akses ke anestesi