Jakarta (ANTARA) - Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menilai ekonomi domestik tidak terlalu rentan terhadap guncangan perdagangan global, dan pasar berpotensi pulih dengan bentuk kurva V karena masuknya likuiditas global ke dalam negeri.
Dengan Exchange-Traded Fund (ETF) ekuitas Indonesia telah turun hingga 10 persen dalam sepekan saat pasar lokal tutup, Satria berpendapat, hampir dapat dipastikan bahwa pemutus arus akan dipicu saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka untuk pertama kalinya dalam sepekan pada Selasa.
"Namun, ada kemungkinan pembeli institusional asing dan lokal akan muncul, dengan tingkat cash yang sudah tinggi karena penjualan ekuitas telah meningkat sebelum liburan panjang Idulfitri," ujar Satria dalam laporan risetnya di Jakarta, Selasa.
Bagi Indonesia, ekspor Amerika Serikat (AS) hanya mencakup 2 persen dari produk domestik bruto PDB yang merupakan paparan makro terkecil di Asia Tenggara (Thailand 11 persen, Malaysia 10 persen).
Produk Indonesia akan dikenakan pajak sebesar 32 persen oleh AS. Namun, kata dia, hal itu tetap menjadi salah satu tarif impor terendah di antara pusat-pusat tenaga kerja murah lainnya, dengan bea masuk hampir 37-49 persen diterapkan ke Bangladesh, Kamboja, Tiongkok, Sri Lanka, dan Vietnam, yang merupakan pesaing Indonesia untuk menarik investasi.
"Mengingat paparan perdagangan yang minimal, Indonesia sebenarnya berada di zona "Goldilocks" di tengah harga minyak yang lebih rendah, penurunan suku bunga global, dan latar belakang makro di dalam negeri,” tuturnya.
Dalam tiga hari terakhir, lanjut dia, pertumpahan darah pasar ekuitas paling parah terjadi di negara-negara yang sangat terpapar pada perdagangan global seperti Hong Kong, Jepang, Singapura, Taiwan. Indeks saham di emerging markets seperti India dan Malaysia penurunannya kurang dari 8 persen.