Satria mencatat bahwa sekarang pada posisi Rp17.000 per dolar AS, rupiah telah terdepresiasi sebesar 11 persen dalam enam bulan terakhir, dan hal itu sebenarnya menawarkan lindung nilai alami terhadap tarif AS. Depresiasi rupiah telah terjadi di tengah pelemahan umum dalam indeks dolar (DXY), dengan sebagian besar mata uang Asia sebenarnya terapresiasi baru-baru ini.
"Kami pikir mata uang yang dinilai rendah dapat meningkatkan daya saing ekspor manufaktur Indonesia ke AS dan daya tarik ekuitas dan obligasi di kalangan investor asing,” kata Satria.
Ia pun memperkirakan tarif AS yang baru akan memberikan dampak minimal terhadap laba perusahaan Indonesia, yang sudah berada pada basis rendah untuk estimasi 2025.
Sebaliknya, menurut riset Bahana, margin perusahaan-perusahaan di Indonesia mungkin terkena dampak positif, karena rupiah telah terdepresiasi sebesar 5 persen dalam sebulan tetapi harga minyak, yang menjadi "cost" utama perusahaan-perusahaan di Indonesia, telah turun sebesar 15 persen.
"Pandangan kami adalah kapitulasi Presiden Donald Trump akan terjadi lebih cepat daripada yang diperkirakan; sedikit saja tanda-tandanya akan memicu pemulihan pasar yang akan lebih dahsyat daripada tahun 2020," katanya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ekonom Bahana nilai ekonomi RI tidak rentan guncangan sentimen global