Jakarta (ANTARA) - Di tengah ketidakpastian global, pasar kembali memalingkan wajahnya ke aset safe haven yang telah berusia ribuan tahun yakni logam mulia, emas.
Maka jika lonjakan harga emas spot hampir satu persen hari ini bukan hanya refleksi dari kepanikan jangka pendek akibat perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok, tetapi juga sinyal yang lebih dalam tentang bagaimana pasar mulai mendefinisikan ulang fungsi emas di era ekonomi yang terfragmentasi dan tidak pasti.
Konteksnya sederhana namun mengkhawatirkan. Ketika Presiden AS Donald Trump melontarkan ultimatum kepada Beijing untuk mencabut tarif balasan sebesar 34 persen atau menghadapi tambahan tarif 50 persen, pasar global langsung tersentak.
Bukan karena pernyataan itu tak terduga, tapi karena timing dan skalanya yang memaksa pelaku pasar mempertimbangkan kembali asumsi-asumsi dasar yang selama ini menopang perdagangan global.
Harga emas, yang sebelumnya sempat tergelincir ke titik terendah empat pekan karena semu harapan akan meredanya ketegangan, kini kembali melesat ke atas 3.000 dolar AS per ons.
Zain Vawda, analis di MarketPulse dari OANDA dalam pernyataannya kepada Reuters mengatakan, emas kembali menguat didukung oleh pelemahan dolar AS dan ketidakpastian yang terus berlanjut terkait perkembangan perang dagang.
Kenaikan harga emas ini juga tidak semata reaksi spontan. Ini adalah refleksi dari krisis kepercayaan terhadap sistem yang selama dua dekade terakhir menjadi fondasi globalisasi, stabilitas tarif, prediktabilitas kebijakan, dan kepastian rantai pasok.
Dalam lanskap seperti ini, emas tak lagi dilihat hanya sebagai alat lindung nilai terhadap inflasi atau pelarian modal jangka pendek.
Ia mulai diposisikan sebagai jangkar nilai dalam sistem yang sedang mencari titik keseimbangannya kembali.
Investor cerdas memahami bahwa risiko yang dihadapi saat ini bukan lagi volatilitas biasa, melainkan kemungkinan restrukturisasi menyeluruh terhadap arsitektur ekonomi dunia. Dengan kata lain, emas mulai dilihat sebagai alat lindung nilai lintas siklus dan lintas sistem.
Inilah mengapa banyak manajer investasi atau analisis pasar yang terus menyarankan agar eksposur terhadap emas spot setidaknya berkisar antara 5 hingga 10 persen dari total portofolio.
Ini bukan semata strategi defensif, tetapi bentuk kesiapan menghadapi kemungkinan masa depan yang tak bisa lagi dijelaskan dengan model-model ekonomi lama.
Sementara itu, untuk emas berjangka, meski banyak yang melewatkan sebagian keuntungan karena harga sempat menembus 3.200, pendekatan konservatif tetap menjadi prinsip utama dalam menghadapi pasar yang rentan terhadap kejutan geopolitik.
Konsolidasi Bitcoin
Namun, narasi emas sebagai pelindung nilai tak bisa berdiri sendiri. Seseorang juga harus melihat bagaimana Bitcoin, sebagai aset digital yang sering dijuluki "emas versi milenial", bereaksi terhadap tekanan pasar.
Analis Reku Fahmi Almuttaqin mengatakan, kebijakan tarif Trump menekan Bitcoin pada awal April 2025, turun ke level 83.000 dolar AS walaupun sempat naik ke level 87.000 dolar AS saat pengumuman awal.
Hingga berlanjut sempat menyentuh titik terendah di 74.604 dolar AS, dan kini mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan dengan kembali naik ke atas 79.000 dolar.
Meski dalam jangka pendek masih mencatat penurunan 3,1 persen dan telah terkoreksi hampir 30 persen dari puncaknya di awal tahun, struktur pergerakannya mengisyaratkan sesuatu yang berbeda, ini bukan kehancuran, tapi lebih serupa fase konsolidasi.
Koreksi tajam seperti ini kerap kali menjadi filter alami terhadap modal spekulatif jangka pendek. Dalam konteks pasar bullish, koreksi semacam ini justru membuka ruang bagi penguatan yang lebih sehat. Indikator Exchange Inflow Coin Days Destroyed (CDD), yang melacak pergerakan koin lama ke bursa, menunjukkan lonjakan tajam.
Banyak analis melihat ini sebagai sinyal bahwa investor jangka panjang tengah mempertimbangkan profit taking.
Namun sejarah menunjukkan bahwa lonjakan indikator CDD justru sering kali terjadi di tengah fase konsolidasi sebelum tren naik berikutnya.
Dengan kata lain, Bitcoin sedang mengalami proses “pembersihan”, di mana posisi-posisi lemah disingkirkan demi membuka ruang bagi kelanjutan tren naik.
Ini bukan tanda bahwa pasar kehilangan kepercayaan terhadap aset digital ini, melainkan proses alamiah dari siklus pembentukan harga.
Fenomena koin lama yang kembali berpindah tangan lebih mencerminkan keputusan rasional untuk merealisasikan keuntungan, bukan eksodus karena ketakutan mendasar terhadap masa depan teknologi blockchain atau aset kripto itu sendiri.
Persamaan antara emas dan Bitcoin dalam konteks ini sangat menarik. Keduanya sedang menguji batas peran masing-masing dalam lanskap ekonomi baru.
Jika emas mulai dilihat sebagai jangkar nilai sistemik di tengah hancurnya kepercayaan terhadap stabilitas geopolitik, maka Bitcoin tengah berevolusi dari sekadar aset spekulatif menjadi bagian dari infrastruktur finansial yang sedang tumbuh.
Kedua aset ini tidak berada dalam kompetisi, melainkan saling melengkapi sebagai dua sisi dari mata uang yang sama yakni pencarian akan nilai yang tahan terhadap guncangan dunia.
Manusia saat ini hidup di zaman ketika kesepakatan internasional dapat runtuh dalam satu cuitan, ketika tarif dapat berubah dalam hitungan jam, dan ketika sistem yang dibangun atas dasar efisiensi mulai digantikan oleh sistem berbasis resiliensi.
Dalam dunia seperti ini, pendekatan investasi tak lagi cukup hanya berbasis logika pertumbuhan. Investor harus mulai berpikir dalam kerangka perlindungan nilai, diversifikasi ekstrem, dan adaptasi terhadap disrupsi sistemik.
Emas dan Bitcoin, dalam caranya masing-masing, menawarkan bukan hanya perlindungan tetapi juga refleksi bahwa dunia saat ini sedang berubah, dan bahwa strategi masa depan bukan tentang meramal arah pasar, tapi memahami logika baru yang sedang terbentuk di bawah permukaan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Demi lindungi nilai, investor ramai-ramai borong emas dan bitcoin