Bandung (ANTARA) - Di atas permukaan air Waduk Cirata, Jawa Barat, terbentang hamparan surya panel raksasa. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata, yang diresmikan pada November 2023, menjadi tonggak sejarah penting dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
PLTS Terapung Cirata yang berada di Waduk Cirata ini secara administratif masuk ke dalam dua wilayah, yaitu Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bandung Barat.
Sebagai PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 192 megawatt peak (MWp), PLTS Terapung Cirata membawa harapan baru dalam upaya mencapai energi yang berkelanjutan.
Sejarah PLTS Terapung Cirata dimulai pada tahun 2012. Saat itu PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) yang kini telah berganti nama menjadi PT PLN Nusantara Power (PLN NP) mulai menjajaki potensi energi bersih dengan pengembangan tenaga surya.
Dengan melihat potensi luas permukaan waduk yang mencapai 6.500 hektare, muncul wacana menggabungkan pembangkit surya dengan permukaan air.
Akan tetapi wacana belum dapat ditindaklanjuti oleh karena ketiadaan teknologi yang memadai. Barulah lima tahun kemudian, yakni pada tahun 2017, Indonesia menjajaki kerja sama dengan Uni Emirat Arab (UEA) dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
PT PLN Nusantara Power (PLN NP) secara serius mengembangkan PLTS Terapung Cirata setelah menandatangani perjanjian kerja sama dengan UEA.
Proyek ini merupakan kolaborasi yang diinisiasi pada tahun 2017, dimulai dari studi kelayakan hingga pembentukan PTPembangkitan Jaw a-Bali Masdar Solar Energy (PMSE ) yang merupakan hasil kerja sama Indonesia dan UEA melalui subholding PT PLN (Persero) yaitu PT PLN Nusantara Power dan perusahaan energi UEA, Masdar.
Adapun kepemilikan saham PT PMSE , anak perusahaan PLN NP yaitu PLN Nusantara Renewables sebesar 51 persen dan Masdar 49 persen.
Memanfaatkan badan air di Waduk Cirata
Dibangun di atas permukaan air Waduk Cirata, PLTS Terapung seluas 200 hektare ini mampu memproduksi energi hijau berkapasitas 192 MWp dengan 13 pulau panel surya yang bisa menghasilkan listrik yang dapat dialirkan ke lebih dari 50.000 rumah.
Dengan memiliki lebih dari 340 ribu panel surya, PLTS Terapung ini mempunyai keunggulan utama yaitu dalam pembebasan lahan. Dengan memanfaatkan badan air yang ada, proyek ini tidak memerlukan lahan tambahan.
Tidak hanya itu, PLTS Terapung Cirata juga memberikan solusi untuk mengatasi masalah ketika musim kemarau tiba. Dengan mengurangi penguapan air di waduk, sumber daya air ini dapat memiliki hal positif bagi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata, karena memungkinkan penghematan air di musim kemarau.
Dengan PLTA dan PLTS yang saling melengkapi, produksi energi dapat dioptimalkan sepanjang tahun untuk mengatasi tantangan musim kemarau dan meningkatkan ketersediaan energi secara keseluruhan.
“Seperti kita ketahui, PLTA itu produksi besar di musim hujan. Tapi di musim panas produksinya kecil karena tidak ada hujan. Tapi jika kita punya PLTS di atas PLTA, maka musim kemarau produksi listrik akan tinggi,” kata Direktur Operasi PT PMSE, Dimas Kaharudin saat ditemui di PLTS Terapung Cirata, Purwakarta, pada awal April 2024.
Menurut dia, PLTS terapung cenderung menghasilkan listrik lebih banyak dengan PLTS di tempat lain dengan kapasitas yang sama. Hal ini disebabkan mekanisme pendinginan yang lebih baik karena berada di atas permukaan air.
Dengan demikian, PLTS terapung tidak hanya memberikan solusi untuk pemanfaatan lahan yang terbatas, tetapi juga memberikan efisiensi yang lebih tinggi dalam menghasilkan energi terbarukan.
PLTS Terapung Cirata yang saat ini mempunyai kapasitas produksi listrik sebesar 192 MWp, memiliki potensi untuk melakukan penambahan kapasitas hingga mencapai 1.000 MWp, karena pembangkit listrik energi terbarukan ini baru memanfaatkan 4 persen dari maksimal 20 persen luas permukaan Waduk Cirata yang seluas 6.500 hektare.
"Pada waktu PLTS Cirata ini dibangun ada limitasi maksimum 5 persen (luas permukaan waduk), yang mana kurang lebih seukuran yang kita bisa manfaatkan. Namun saat ini sudah diangkat batasannya sekarang maksimum 20 persen,” katanya.
Menggapai "net zero emission" pada 2060
PLTS Terapung Cirata bukan sekadar memperkuat ketahanan energi nasional tetapi juga menjadi simbol komitmen Indonesia dalam menggapai mimpi untuk net zero emission (NZE) atau emisi nol bersih di tahun 2060.
Pembangunan PLTS Terapung Cirata bukan hanya tentang peningkatan kapasitas energi terbarukan, tetapi juga tentang mengubah pembangkit listrik tenaga fosil menjadi ramah lingkungan.
Dengan meninggalkan sumber energi berbahan fosil, proyek ini membantu mempercepat transisi Indonesia menuju masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
PLTS Terapung Cirata bukan hanya sebuah proyek infrastruktur, tetapi juga sebagai kesempatan besar bagi para pekerja lokal untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman mereka dalam pengembangan energi terbarukan.
Dalam pembangunan PLTS terapung ini, PT PMSE melibatkan 1.400 pekerja lokal. Hal tersebut tentu akan menciptakan peluang besar untuk proses transfer pengetahuan dan pengembangan proyek serupa di masa depan.
Para pekerja lokal tidak hanya fokus untuk menyelesaikan proyek, tetapi juga mendapatkan kesempatan untuk belajar secara langsung dari para ahli yang terlibat dengan mendapatkan sertifikasi khusus dalam pelaksanaan pembangunan PLTS ini.
"Jadi, pembangunan PLTS terapung ini tidak ada teknologi yang sangat rahasia. Artinya semuanya terlibat dan karena pada waktu proses konstruksi itu mayoritas pekerja yang terlibat adalah lokal,” kata Dimas.
Outreach & Stakeholder Manager PT. PMSE, Respati Adi Katmoyo, menambahkan bahwa dari total 1.400 pekerja lokal yang terlibat, terdapat sebanyak 60 nelayan tambak yang turut serta dalam proyek ini. Keterlibatan mereka bukan hanya sekadar membangun PLTS terapung, tetapi juga membawa dampak yang jauh lebih besar.
“Karena itu, semua pihak lokal Indonesia yang terlibat di proyek ini telah mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana membangun atau mengembangkan proyek PLTS terapung lainnya pada skala besar.
Setelah terlibat dalam proyek, para nelayan tambak ini juga memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang penting dalam melanjutkan pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan serupa di lokasi-lokasi lain di Indonesia.
Jadi, setelah membangun PLTS Terapung Cirata ini para tenaga yang terlibat termasuk nelayan tambak sudah langsung banyak terpencar ke proyek-proyek PLTS terapung lain di Indonesia.
Bangun infrastruktur serupa
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi menyampaikan keberhasilan Indonesia dalam membangun PLTS Terapung Cirata itu mendorong pemerintah untuk terus meningkatkan pembangunan infrastruktur serupa.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN pada 2021-2030, PLTS Terapung Saguling, Jawa Barat akan memiliki kapasitas sebesar 60 MW, sedangkan PTLS Terapung Singkarak, Sumatera Barat berkapasitas 48 MW.
Menurut hasil RUPTL tersebut ada lima PLTS terapung yang akan dibangun hingga 2030, yakni di Waduk Wonogiri, Jawa Tengah, berkapasitas 100 MW, Waduk Sutami, Jawa Timur 122 MW, Waduk Jatiluhur, Jawa Barat 100 MW, Waduk Mrica, Jawa Barat 60 MW, dan Waduk Wonorejo, Jawa Timur 122 MW.
"Yang perlu kita lakukan berikutnya adalah mereplikasi PLTS terapung ini dan akan kita tingkatkan dengan begitu banyak potensi waduk di Indonesia dan pemerintah tengah aktif membangun waduk dan bendungan," kata Yudo.
Hal ini menandai bukti keseriusan Indonesia dalam menjelajahi potensi energi terbarukan. Bukan hanya sekadar pembangunan infrastruktur, tetapi juga menjadi tonggak penting dalam menginisiasi proyek percontohan serupa di lokasi waduk lainnya di Indonesia.
Langkah-langkah menuju emisi nol bersih pada 2060 tidak akan mudah, tetapi pembangunan PLTS Terapung Cirata telah menjadi bagian dari perjalanan Indonesia menuju tujuan emisi nol bersih pada tahun 2060.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: PLTS Cirata menjadi tonggak masa depan energi surya di Indonesia