Jakarta (ANTARA) - Di balik tembok-tembok tinggi dan pagar yang tertutup rapat, HW memerkosa 21 santrinya selama 5 tahun tanpa diketahui warga di sekeliling pesantren, orang tua para santri, apalagi aparat penegak hukum.
Ia bebas melakukan aksinya hingga menghamili korbannya, mempekerjakan para santri mulai dari urusan administrasi sampai ke urusan pertukangan, dan tak lupa memanfaatkan korban serta anak-anak yang lahir sebagai alat mencari dana sumbangan.
Baca juga: Kasus asusila di Bandung jadi perhatian serius Presiden, sebut Menteri PPPA
Kekejian yang dilakukan oleh HW melampaui batas nalar manusia, tetapi itu terjadi karena pemerkosaan memang tidak pernah rasional.
Pemerkosaan selalu bekerja dengan logika kekuasaan, didukung oleh budaya, kebiasaan, dan hukum yang belum memihak kepada korban.
Jika mengamati kasus di Cibiru, pemerkosaan terjadi berulang kali dan tidak ada korban yang melapor ke orang tua apalagi kepolisian, karena mereka didoktrin untuk taat kepada gurunya.
Spektrum - Pencegahan pemerkosaan butuh hukum yang berpihak pada korban
Selasa, 14 Desember 2021 15:59 WIB