Bandung (ANTARA) - Direktur Citra Institute, Yusak Farhan menyatakan adanya penolakan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, sangat disayangkan.
"Seharusnya seorang negarawan yang menghormati jasa para pendahulunya, bukan hanya melihat persoalan ini dari sudut pandang politik," katanya, Sabtu.
Ia menilai sikap "ngambek" politik yang terus dipertahankan justru dapat memperlambat proses rekonsiliasi nasional yang sedang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto.
“Sikap ‘ngambek’ yang terus-terusan bisa menghambat rekonsiliasi nasional,” tegasnya.
Ia menambahkan semangat rekonsiliasi yang dibangun Prabowo berlandaskan visi besar untuk memperkuat persatuan bangsa, bukan kepentingan politik jangka pendek.
“Saya kira politik rekonsiliasi Prabowo dibangun berdasarkan visi besar persatuan nasional, bukan rekonsiliasi jangka pendek yang digerakkan karena motif kekuasaan,” tutur Yusak.
Menurut Yusak, keteladanan dalam menghargai tokoh masa lalu tanpa kehilangan sikap kritis telah dicontohkan oleh beberapa pemimpin, seperti Gus Dur, Taufiq Kiemas, hingga Presiden Prabowo Subianto.
“Sikap terbaik dalam menghargai tokoh masa lalu sudah ditunjukkan dalam kepemimpinan Prabowo. Dari awal dilantik, Prabowo terbuka dan merangkul semua kelompok, termasuk Mega dan PDIP,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional tidak berarti menghapus sisi kritis terhadap masa pemerintahannya.
“Menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional tidak berarti menghilangkan nalar kritis kita terhadap kepemimpinan Soeharto. Saya kira kita harus fair dan proporsional,” jelasnya.
Yusak juga menilai tidak adil apabila jasa Soeharto di bidang pembangunan diabaikan hanya karena kontroversi politik masa lalunya.
“Tentu tidak adil jika melihat Soeharto hanya dari sisi keburukannya,” ujarnya.
Menurutnya, meski Soeharto naik ke tampuk kekuasaan bukan melalui pemilu, ia mampu membangun fondasi ekonomi nasional yang kuat melalui program pembangunan jangka panjang seperti Repelita.
“Soeharto menjadi presiden memang bukan karena hasil pemilu, melainkan akibat krisis politik nasional yang membuatnya naik ke tampuk kekuasaan. Tapi kepemimpinan Soeharto juga berhasil melaksanakan berbagai program pembangunan terencana melalui Repelita yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” jelas Yusak.
Lebih jauh, Yusak menyebut bahwa usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sudah melalui proses panjang sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional sudah melalui proses yang panjang, bahkan sejak era SBY,” katanya.
Ia menilai pengakuan terhadap jasa Soeharto justru dapat menjadi simbol kebesaran bangsa Indonesia yang mampu menempatkan sejarah secara adil tanpa membawa dendam.
“Kalau kita ribut dan dendam terus atas masa lalu, sampai kapan bangsa kita bisa menjadi dewasa. Kita harus bisa menempatkan sejarah secara adil,” tegas Yusak.
Menurutnya, meski gaya kepemimpinan Soeharto kerap disebut otoriter, jasa dan perannya dalam menyelamatkan bangsa pasca tragedi 1965 tidak bisa diabaikan.
“Meskipun kepemimpinan politiknya sangat otoriter, tapi Soeharto telah meletakkan fondasi penting bagi pembangunan ekonomi. Soeharto turut bekerja dalam upaya penyelamatan bangsa dari potensi disintegrasi pasca tragedi 1965,” kata Yusak Farhan.
