Indramayu (ANTARA) - Suara toa bersahutan, spanduk lusuh terbentang, pekik perlawanan lantang terdengar dan perjuangan massa buruh di Indramayu, Jawa Barat, beberapa tahun silam kini masih terpatri dalam benak Matori (50), atau akrab disapa Mamat.
Lelaki berbadan ramping dengan bahu kokoh ini pernah berdiri di garis depan dalam aksi demonstrasi. Kala itu ia masih bekerja sebagai tenaga kebersihan pada anak perusahaan PT Pertamina.
Statusnya saat bekerja hanyalah mitra dengan bayaran Rp200 ribu per bulan. Gaji segitu dinilai tak cukup untuk menyambung hidup.
Sebagai Ketua Serikat Buruh Indramayu (SBI), Mamat sering melakukan aksi untuk menyuarakan tuntutan kenaikan upah agar didengar perusahaan pelat merah.
Gerakannya dianggap nekat, tapi tepat karena hasilnya berbuah manis. Upah buruh yang lama mandek akhirnya naik dari Rp800 ribu menuju Rp1 juta kala itu.
“Saat saya keluar (dari pekerjaan) pas posisi upah naik. Perjuangannya tidak sia-sia,” tuturnya kepada ANTARA di Desa Balongan, Indramayu pada Medio Juli 2025.
Sejak itu hidup Mamat berubah. Dari buruh biasa lalu tumbuh menjadi penggerak serta menapaki peran yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Titik balik
Mamat sempat menganggur, hidupnya terkatung-katung. Namun, semangat sosialnya tak pernah padam. Ia kemudian bekerja sebagai hansip dan dari situ pintu baru terbuka.
Pada 2016, dia diajak terlibat dalam rintisan program bank sampah Widara, yang namanya diambil dari pohon khas di Balongan.
Tatkala rencana pembentukan bank sampah diumumkan, penolakan justru datang dari warga. Sebuah spanduk bertuliskan “Menolak Berdirinya Bank Sampah” pernah terbentang di jalan desa.
