Mamat mengatakan dalam satu jam, selembar bahan plakat berukuran 20x14 cm bisa selesai diproduksi.
Hasilnya tidak kalah dengan produk pabrikan. Justru, karena seluruh prosesnya memakai alat sederhana, motif yang muncul pada lembaran itu tampak lebih alami.
Setiap lembar punya corak dengan guratan khas nan unik, seolah membawa jejak perjalanan plastik sebelum berubah bentuk menjadi cinderamata yang cantik.
Wiralodra melibatkan komunitas Teman Istimewa dalam tahap finishing. Kelompok difabel tuli ini menyulap lembaran bahan baku tadi menjadi plakat yang bisa dijual sebagai sagu hati.
Produk yang dihasilkan pun kian beragam karena mereka tak pernah berhenti berkreasi. Selain plakat, Wiralodra dan Teman Istimewa mampu memproduksi meja, kursi, tong sampah, hingga paving block.
Permintaan produk datang silih berganti. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pernah memesan 15 plakat yang kemudian dikirim hingga ke Tiongkok sebagai cinderamata.
Nilai ekonominya pun menjanjikan. Dari modal Rp6 ribu untuk satu kilogram plastik dan ongkos produksi Rp20 ribu, mereka bisa menjual bahan plakat seharga Rp100 ribu hingga Rp500 ribu.
Meski begitu, mereka tidak pernah menetapkan target produksi yang kaku. Jumlah barang yang dibuat bergantung pada pesanan.
Tidak jarang, investor pernah datang menawarkan kerja sama, bahkan dengan nilai ratusan juta rupiah. Namun, dia menegaskan aktivitas Wiralodra tak melulu soal bisnis.
Bagi Mamat dan kawannya, kepuasan terbesar adalah melihat sampah yang semula menjadi masalah, kini berubah menjadi barang bermanfaat.
