Jakarta (ANTARA) - Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lembaga bantuan hukum menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang memeriksa kasus korupsi di Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas) meskipun itu melibatkan dua prajurit aktif TNI.
Oleh karena itu, menurut perwakilan masing-masing organisasi saat taklimat media di Jakarta, Minggu (30/7), masalah yurisdiksi yang muncul dalam kasus itu sebetulnya tidak perlu menjadi perdebatan, karena kewenangan KPK memeriksa kasus korupsi di Basarnas sesuai dengan asas-asas hukum, konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dan peraturan perundang-undangan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dalam taklimat media itu, menjelaskan ada tiga asas hukum yang menjamin kewenangan KPK memeriksa kasus korupsi di Basarnas, meskipun itu melibatkan prajurit TNI.
“Asas hukum pertama adalah hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Asas hukum kedua, hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama. Asas hukum yang ketiga, hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang lebih umum,” kata Usman Hamid, yang saat ini juga aktif sebagai dosen salah satu sekolah tinggi hukum di Jakarta.
Dia menjelaskan UUD 1945 sebagai konstitusi negara membawahi undang-undang di bawahnya, termasuk undang-undang yang mengatur peradilan umum dan peradilan militer.
Usman menyebut Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D UUD 1945 mengatur kedudukan seluruh warga negara, tanpa terkecuali, sama di dalam hukum.
“Setiap orang, tanpa terkecuali memiliki kesamaan kedudukan di muka hukum, baik warga sipil, warga berstatus anggota Polri, maupun warga berstatus anggota TNI. Siapa pun tidak boleh kebal hukum,” kata Usman Hamid.
Terkait itu, dia menekankan anggota TNI merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang artinya mereka punya kedudukan yang sama dengan warga sipil lainnya dalam menjalani proses hukum sebagaimana diatur dalam konstitusi UUD 1945.
Kemudian, terkait asas hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama, Usman menyoroti penggunaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan Undang-Undang Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
“Kalau sudah ada Undang-Undang Peradilan Militer tentu Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 1970 tidak berlaku lagi, tetapi kalau sudah ada Undang-Undang TNI Tahun 2004, maka seluruh undang-undang di belakang dikesampingkan,” kata Usman Hamid.
Dia menekankan isi Pasal 65 ayat (2) UU TNI yang mengatur prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer, dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
Asas hukum ketiga, dia melanjutkan, hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum. Usman menilai kasus tindak pidana korupsi merupakan bagian dari tindak pidana khusus, bukan tindak pidana umum.
“Seharusnya perdebatan tentang peradilan militer atau peradilan umum tidak berlaku lagi, karena perdebatan itu hanya membahas yurisdiksi mana ketika anggota TNI melakukan tindak pidana umum. Yang terjadi (di Basarnas) bukan tindak pidana umum, yang terjadi sekarang tindak pidana khusus,” kata dia.
Dia juga menyoroti peradilan koneksitas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP, terutama Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, dan Pasal 92, mekanisme koneksitas berlaku saat warga sipil bersama-sama anggota TNI melakukan tindak pidana umum, bukan tindak pidana khusus.
“Korupsi tindak pidana khusus, bukan tindak pidana umum. Korupsi tidak ada hubungannya dengan tugas militer, tidak ada hubungannya dengan kepentingan militer,” kata dia.
Usman menyampaikan Pasal 89 KUHAP menegaskan jika tindak pidana dilakukan oleh warga sipil dan anggota TNI, maka pemeriksaan perkara menjadi kewenangan peradilan umum. Kecuali, ada keputusan menteri pertahanan (menhan) dan menteri kehakiman/menteri hukum dan HAM (menkumham) yang menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh peradilan militer.
“Dalam kasus Basarnas, tidak ada keputusan menhan, tidak ada keputusan menkumham,” kata dia.
Kemudian, Pasal 90 KUHAP lanjut mengatur jika ada perdebatan mengenai yurisdiksi, maka perlu ada penelitian bersama yang dituangkan dalam berita acara dan ditandatangani oleh para pihak.
“Kuncinya, penelitian bersama dan dituangkan dalam berita acara,” kata dia.
Terakhir, Pasal 91 KUHAP, yang menurut Usman sangat penting untuk menentukan yurisdiksi memeriksa suatu perkara.
“Pasal 91 itu penting sekali, (karena mengatur) kalau ada perdebatan otoritas peradilan militer dan peradilan umum, maka harus dihitung dari titik berat kerugiannya,” kata Usman.
Jika kerugiannya lebih berat ke kepentingan umum, maka perkara itu di periksa oleh peradilan umum. Sebaliknya, jika kerugian dari suatu perkara lebih merugikan kepentingan militer, maka kasus itu dibawa ke peradilan militer.
“Kalau kasus korupsi terjadi dalam badan SAR yang dibentuk oleh TNI untuk tugas-tugas TNI, jelas itu dibawa ke peradilan militer, tetapi yang terjadi korupsi di Badan SAR nasional, bukan lingkungan terbatas TNI,” kata dia.
Dalam taklimat itu, organisasi sipil lainnya yang turut menyampaikan sikap antara lain dari YLBHI, KontraS, Lingkar Madani, Centra Initiative, ICW, PBHI, Setara Institute, ELSAM, Forum De Facto, KPI, HRWG, dan Imparsial.
Kababinkum TNI Pastikan Tidak Ada Kebal Hukum
Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda TNI Kresno Buntoro saat jumpa pers terkait dengan dugaan korupsi yang melibatkan anggota TNI di lingkungan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) memastikan tidak ada prajurit kebal hukum.
Kababinkum TNI saat jumpa pers di Mabes TNI, Jakarta, Jumat (28/7), bersama Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda TNI Agung Handoko, Jaksa Muda Pidana Militer (Jampidmil) Mayjen TNI Wahyoedho Indrajit, Oditur Jenderal (Orjen) TNI Laksamana Muda TNI Nazali Lempo, dan Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda TNI Julius Widjojono.
Walaupun demikian, kata Kababinkum TNI, penanganan kasus dan penindakan terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota TNI aktif harus dilakukan oleh perangkat hukum militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Oleh karena itu, lanjut dia, untuk setiap tindak pidana yang dilakukan oleh militer, prajurit aktif itu tunduk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Selain itu, juga tunduk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
"Jadi, pada intinya tidak ada prajurit TNI yang kebal hukum, semua tunduk pada aturan hukum," kata Laksamana Muda TNI Kresno Buntoro.
Terkait dengan penanganan korupsi, dia menjelaskan bahwa ada batas kewenangan yang jelas, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memproses warga sipil, sementara anggota TNI aktif diperiksa oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
Puspom, dalam penanganan kasus itu, bertindak sebagai penyidik, kemudian berkasnya jika lengkap dilimpahkan ke Oditur Militer yang berfungsi sebagaimana jaksa dalam sistem peradilan umum.
"Selanjutnya, melalui persidangan, dan Anda tahu semua, di peradilan militer itu, itu sudah langsung di bawah teknis yudisialnya Mahkamah Agung. Jadi, tidak ada yang bisa lepas dari itu," kata Kresno Buntoro.
Dalam perkembangannya saat ini, kata dia, ada dibentuk perangkat Jaksa Muda Peradilan Militer (Jampidmil).
"Jampidmil itu sebetulnya dalam konteks koneksitas. Pengalaman juga bahwa Jampidmil sampai sekarang ini juga memproses perkara TWP (tabungan wajib perumahan prajurit TNI, red.), dan juga (korupsi pengadaan) satelit orbit 123," kata Kababinkum TNI.
Oleh karena itu, dia menjamin tidak ada prajurit TNI yang kebal hukum. Mereka yang melanggar atau diduga melanggar hukum, menjalani prosedur dan aturan yang berbeda dengan warga sipil.
"Yakinlah tidak akan ada impunity (impunitas) terkait dengan pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh militer," katanya menegaskan.
Mabes TNI berselang sehari setelah KPK menetapkan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi (HA) dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm. Afri Budi Cahyanto (ABC) sebagai tersangka, buka suara terkait penetapan itu.
Danpuspom TNI Marsda TNI Agung Handoko dalam jumpa pers di Mabes TNI, Jakarta, Jumat, menilai penetapan tersangka oleh KPK menyalahi prosedur.
"Kami terus terang keberatan kalau itu ditetapkan sebagai tersangka, khususnya untuk yang militer. Karena kami punya ketentuan sendiri, punya aturan sendiri. Namun, saat press conference ternyata statement itu keluar, bahwa Letkol ABC maupun Kabasarnas Marsdya HA ditetapkan sebagai tersangka," kata Danpuspom TNI.
Tidak lama setelah jumpa pers di Mabes TNI, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat, mengakui kesalahan prosedur itu.
"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu, ternyata tim menemukan mengetahui adanya anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, ada kelupaan, bahwasanya manakala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI bukan kami yang tangani," kata Johanis Tanak.
KPK pada hari Rabu (26/7) menetapkan Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi (HA) sebagai tersangka karena dia diduga menerima suap sebesar Rp88,3 miliar dari beberapa proyek pengadaan barang di Basarnas pada rentang waktu 2021—2023.
Setidaknya ada lima orang yang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk dua anggota TNI aktif dalam korupsi pengadaan di Basarnas. Tiga tersangka lainnya, yaitu Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan (MG), Direktur Utama PT IGK (Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya (MR), dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kasus korupsi Basarnas, ormas sipil nilai KPK punya wewenang
Ormas sipil dan LBH nilai KPK berwewenang periksa korupsi Basarnas
Senin, 31 Juli 2023 10:55 WIB