Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof Dr Atwar Bajari, M.Si menuturkan fenomena ujaran kebencian di ranah media sosial menggeser karakter bangsa Indonesia.
"Merebaknya hate speech (ujaran kebencian) pada momen Pilpres 2019 memicu saya mengembangkan riset mengenai fenomena ujaran kebencian yang dikaitkan dengan bergesernya karakter kebangsaan Indonesia," kata Atwar Bajari dalam Siniar "Hardtalk, Hasil Riset & Inovasi Unpad" di Bandung, Senin.
Riset ini berhasil mengkategorikan jenis, klaster dan tipologi ujaran kebencian di Indonesia.
Menurutnya, ujaran kebencian bisa menimbulkan perubahan sikap, salah satunya karakter kebangsaan yang semakin menurun.
Padahal, kebebasan berekspresi di ruang virtual bukan berarti bisa menghakimi, menilai, bahkan menghina seseorang dengan seenaknya.
"Saya mempresentasikan soal ujaran kebencian, klaster ujaran kebencian, tipologi sampai pada jenisnya. Kalau ujaran kan frasa (sebagai) kata kuncinya, frasa kunci yang banyak dipakai,” ujar Atwar.
Kadangkala, lanjutnya, ujaran kebencian itu tidak semata-mata akibat perilaku publik yang tidak santun dan warga sebagai citizen, lanjutnya, sering dipancing oleh elit politik yang kemudian menimbulkan reaksi publik secara emosional.
“Kan banyak elit politik yang menggunakan agama, selalu menebar frasa sebagai penanda ujaran kebencian untuk memancing respon di sosial media. Apakah salah publik jika mereka merespons balik dengan cara yang lebih vulgar, untuk melampiaskan emosinya?,” kata dia.
Lebih lanjut ia menjelaskan hasil penelitiannya menunjukkan pernyataan santun para elit pun berpotensi memicu munculnya ujaran kebencian.
"Jangankan statement yang kasar dari para tokoh/elit, statement yang santun pun seringkali memicu terjadinya ujaran kebencian. Statement ini netral dalam kategori riset saya, tapi kenapa bisa ada 17 persen atau bahkan sampai 20 persen konten-konten di dalamnya yang mengandung frasa ujaran kebencian," kata dia.
Dalam penelitiannya, Atwar memberi beberapa indikator terkait perbedaan ketidaksopanan dengan ujaran kebencian. Hal ini terkait laporan Digital Civility Index (DCI) pada 2020, yang menunjukkan Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara paling tidak sopan di ruang sosial media se-Asia Tenggara.
Hasil penelitian menunjukkan tidak selamanya perilaku tidak sopan di sosial media ditunjukkan oleh adanya ujaran kebencian. Terdapat perbedaan definisi ujaran kebencian dengan ketidaksopanan.
“Ketidaksopanan itu ada beberapa indikator, ada sekitar enam atau tujuh indikator. Misalkan kita menyebut gender laki-laki atau perempuan dengan sebutan tertentu, apakah berorientasi seksual atau non seksual, itu sudah tidak sopan kalau menggunakan DCI (Digital Civility Index)" kata dia.
"Tetapi, kalau di ujaran kebencian harus ada lanjutannya sejauh dia memperlakukan dan menghina. Unsur menghina berbau seks/kekerasan secara verbal dan menyinggung komunitas perempuan barulah masuk kepada ranah ujaran kebencian," lanjutnya.
Berdasarkan riset ini, menurut Atwar, sejatinya kita bisa mengambil pelajaran bahwa penanganan ujaran kebencian bukan semata-mata penegakan hukum. Tapi, lanjutnya, berkaitan dengan cara kita menata komunikasi dengan baik, berkomunikasi dengan memelihara etika dan estetika.
"Sebaiknya kita sebagai insan komunikasi harus berpikir bahwa menjalankan komunikasi yang baik itu adalah kewajiban semua pihak," kata dia.
Kamus Hate Speech
Atwar berharap riset yang telah dilakukan ini dapat dikembangkan menjadi sebuah aplikasi kamus hate speech.
Dia mengaku telah merancang sejumlah langkah untuk menyusun aplikasi kamus hate speech. Langkah yang dimaksud antara lain mengumpulkan dan mengklasifikasikan ujaran-ujaran kebencian, serta mengumpulkan kata kerja paling dominan.
“Kamus ini tidak berupa buku seperti kamus konvensional. Kamus ini menjadi merupakan pedoman ketika meng-entry ke dalam system, memerintahkan teknologi untuk mengidentifikasi frasa tertentu tergolong pada ujaran kebencian," kata dia.
"Jadi harus menginventarisasi kata-kata yang menunjukan ujaran kebencian atau tidak, itulah yang saya sebut kamus," lanjut dia.
Dia mengaku saat ini membutuhkan beberapa keahlian terkait diantaranya keahlian linguistik dan IT.