Guru Besar Unpad: Ujaran kebencian di media sosial geser karakter bangsa
Senin, 26 Desember 2022 20:09 WIB
Lebih lanjut ia menjelaskan hasil penelitiannya menunjukkan pernyataan santun para elit pun berpotensi memicu munculnya ujaran kebencian.
"Jangankan statement yang kasar dari para tokoh/elit, statement yang santun pun seringkali memicu terjadinya ujaran kebencian. Statement ini netral dalam kategori riset saya, tapi kenapa bisa ada 17 persen atau bahkan sampai 20 persen konten-konten di dalamnya yang mengandung frasa ujaran kebencian," kata dia.
Dalam penelitiannya, Atwar memberi beberapa indikator terkait perbedaan ketidaksopanan dengan ujaran kebencian. Hal ini terkait laporan Digital Civility Index (DCI) pada 2020, yang menunjukkan Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara paling tidak sopan di ruang sosial media se-Asia Tenggara.
Hasil penelitian menunjukkan tidak selamanya perilaku tidak sopan di sosial media ditunjukkan oleh adanya ujaran kebencian. Terdapat perbedaan definisi ujaran kebencian dengan ketidaksopanan.
“Ketidaksopanan itu ada beberapa indikator, ada sekitar enam atau tujuh indikator. Misalkan kita menyebut gender laki-laki atau perempuan dengan sebutan tertentu, apakah berorientasi seksual atau non seksual, itu sudah tidak sopan kalau menggunakan DCI (Digital Civility Index)" kata dia.
"Tetapi, kalau di ujaran kebencian harus ada lanjutannya sejauh dia memperlakukan dan menghina. Unsur menghina berbau seks/kekerasan secara verbal dan menyinggung komunitas perempuan barulah masuk kepada ranah ujaran kebencian," lanjutnya.
Berdasarkan riset ini, menurut Atwar, sejatinya kita bisa mengambil pelajaran bahwa penanganan ujaran kebencian bukan semata-mata penegakan hukum. Tapi, lanjutnya, berkaitan dengan cara kita menata komunikasi dengan baik, berkomunikasi dengan memelihara etika dan estetika.
"Sebaiknya kita sebagai insan komunikasi harus berpikir bahwa menjalankan komunikasi yang baik itu adalah kewajiban semua pihak," kata dia.