Artikel - Konseling Permainan Kelompok Bagi Anak Berpengalaman Traumatis
Kamis, 25 November 2021 17:17 WIB
Anak-anak dapat belajar mengenal dirinya melalui konseling permainan kelompok. Mereka belajar karena mereka dipersilahkan berkomunikasi dengan bahasa mereka, yakni bahasa bermain. Vander Kolk (dalam Russ, 2004) mengemukakan sembilan manfaat konseling permainan kelompok yaitu (1) menerima seorang anak secara penuh; (2) semata-mata mengajak bermain tanpa uraian panjang-lebar, tanpa menentukan sasaran, tanpa alasan yang tak perlu, tanpa bertanya-tanya, atau tanpa perkecualian; (3) membantu anak-anak belajar mengekspresikan diri dan menikmati indahnya dihargai; (4) membolehkan tetapi tidak mendorong prilaku menyimpang pada awal terapi; (5) membolehkan semua “prilaku simbolik” sambil membatasi prilaku destruktif; (6) mencegah anak-anak untuk saling menyerang secara fisik; (7) memberlakukan batasan-batasan secara lembut, bukan dengan jalan mengkritik, dan ringkas (tidak bertele-tele); (8) memberitahu batasan-batasan hanya bilamana diperlukan; dan (9) merasakan dan menyatakan empati.
Ginott (dalam Sweeney & Homeyer, 1999) berpendapat bahwa dalam mengevaluasi keberhasilan proses konseling, sekurang-kurangnya ada enam pertanyaan yang harus terjawab lebih dahulu, yakni (1) apakah metode yang digunakan dapat memfasilitasi atau menghambat terbangunnya suatu hubungan konselor, (2) apakah metode tersebut memperlancar atau menghambat upaya melahirkan ide pemulihan emosi, (3) apakah metode ini membantu atau mementahkan pencapaian kekuatan berfikir, (4) apakah metode ini menambah atau mengurangi kesempatan untuk pengujian realita, (5) apakah metode ini membukakan atau menutup jalur-jalur sublimasi (upaya mengarahkan-ulang dengan mengacu pada tujuan yang lebih luhur yang berselaras dengan cita dan aspirasi manusia beradab).
Sweeney & Homeyer (1999) menyatakan bahwa terdapat enam prosedur yang harus ditempuh dalam pelaksanaan konseling kelompok yakni (1) melakukan pertimbangan-pertimbangan etis dan legal; (2) melakukan seleksi kelompok dan ukurannya; (3) pembentukan kelompok dan penyiapan bahan-bahan; (4) penentuan lama waktu setiap sesi dan frekuensinya; (5) mengatur respon konselor; dan (6) menetapkan batasan-batasan antar kelompok. Khusus dalam melakukan operasionalisasi pada tahapan Lead, digunakan langkah-langkah group process dari Gladding (1995) yang dipadukan dengan metode didaktik eksperiensial atau disebut juga metode sokratik. Metode didaktik eksperiensial seringkali disebut juga sebagai metode debriefing. Pada metode ini, konseli dapat secara aktual mengajar dirinya sendiri dengan cara menjawab pertanyaan yang dipresentasikan oleh konselor. Konselor tidak memberikan nasihat kepada konseli dengan tujuan untuk lebih menanamkan pembelajaran daripada membantu peserta untuk mencapai suatu pemahaman atas suatu pembelajaran melalui self-discovery.
Indikator Keberhasilan dan Mekanisme Penilaian
Sebagai upaya untuk mengukur keberhasilan proses konseling maka perlu dilakukan penilaian terhadap proses dan hasil konseling. Penilaian terhadap proses konseling difokuskan pada keterlaksanaan proses konseling berdasarkan tahapan-tahapan yang telah ditetapkan. Sedangkan penilaian terhadap hasil dilakukan terhadap perubahan sikap konseli dalam memandang persoalan yang dihadapinya. Konseli dianggap berhasil apabila ia menunjukkan perubahan dalam berbagai hal, yaitu perubahan sikap, perubahan persepsi, dan perubahan tindakan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Mekanisme penilaian yang digunakan untuk menilai keberhasilan proses konseling ialah dengan cara mengamati secara seksama proses pelaksanaan kegiatan mulai dari tahap awal, kemudian tahap transisi, lalu tahap kinerja, hingga tahap terminasi. Secara umum model yang digunakan untuk menganalisis intensitas keberhasilan proses konseling permainan kelompok menggunakan model CHANGES. Model CHANGES ini diposisikan sebagai substansi, asosiasi dari sejumlah pengalaman sekaligus sebagai bentuk perilaku. Langkah-langkah model CHANGES di dasarkan pada enam tahapan, yaitu tahap (1) Context; (2) Hypothesizing; (3) Action that is Novel; (4) Generating; (5) Evaluation; dan (6) Solution.
Untuk menutup pidato ini saya ingin mengakhirinya dengan ungkapan dari Einstein yang disampaikan pada saat beliau mengakhiri karirnya sebagai professor di Harvard University. Beliau mengatakan “Mengapa ilmu yang indah ini, yang memberi begitu banyak kemudahan, hanya memberi kebahagiaan yang sedikit pada manusia?” Jawabnya tergantung pada diri kita masing-masing.
Kita tidak sedang berada diruang kosong. Kita tidak minta untuk dilahirkan sebagai, maaf, orang miskin dan juga menderita. Kalau itu terjadi pada kita apa yang harus kita lakukan. Dengan mengacu pada pendapat Urie Bronfenbrenner, terdapat lima sistem yang melingkupi diri manusia yakni (1) Microsystem (keluarga, sekolah, teman sebaya, tetangga, lingkungan keagamaan, fasilitas kesehatan, dan lingkungan pendidikan anak); (2) Mesosystem; (3) Exsosystem (keluarga besar, tetangga jauh, lingkungan sekolah, lembaga pemerintahan, lembaga pelayanan sosial dan kesehatan, media massa, dan kondisi ekonomi orang tua); (4) Macrosystem (ideologi, norma sosial, dan budaya); (5) Chronosystem (perubahan lingkungan yang terjadi). Kelima sistem ini mestinya dioptimalkan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak. Tugas kita adalah menciptakan lingkungan perkembangan yang mendukung, Vygotsky menyebutnya sebagai Zone of Proximal Development (ZPD).
*) Guru Besar UPI Bidang Bimbingan dan Konseling
(Artikel diambil dari pidato saat pengukuhan guru besar Universitas Pendidikan Indonesia, 24 November 2021 di Gedung Achmad Sanusi UPI Bandung)