Bandung (ANTARA) - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat MQ Iswara menilai ide Gubernur Dedi Mulyadi yang menyertakan skema insentif bagi masyarakat, menjadi kunci vital untuk merubah pola paradigma reboisasi lahan kritis yang hanya sebatas seremonial.
"Kami sangat mengapresiasi. Selama ini program seperti ini bukan hal baru, kita pernah punya Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK), namun sering kali hanya bersifat seremonial. Pohon ditanam, lalu ditinggalkan tanpa perawatan," ujar Iswara di Bandung, Jumat.
Iswara menegaskan bahwa diferensiasi utama program Dedi Mulyadi saat ini terletak pada fokus pasca-penanaman. Menurutnya, menanam pohon adalah pekerjaan mudah, namun tantangan sesungguhnya terletak pada fase pemeliharaan untuk memastikan tanaman bertahan hidup melewati masa kritis.
Masa kritis tanaman keras yang diproyeksikan sebagai daerah tangkapan air (water catchment area) tersebut, kata dia, berkisar antara beberapa bulan hingga satu tahun. Tanpa pengawasan intensif pada periode ini, potensi kegagalan program reboisasi sangat tinggi.
"Program gubernur ini berbeda. Masyarakat sekitar dilibatkan dan diberikan insentif untuk merawatnya. Ini penting karena merekalah yang setiap hari melihat perkembangan tanaman dan mengetahui jika ada kendala di lapangan," katanya.
DPRD Jabar menyoroti urgensi optimalisasi lahan-lahan kritis di Jawa Barat untuk menekan risiko bencana hidrometeorologi. Penanaman pohon keras di area tersebut diharapkan mampu menyerap air secara maksimal serta menghambat laju limpasan air permukaan (run off) yang kerap menjadi pemicu utama banjir dan tanah longsor di kawasan hilir.
Lebih lanjut, Iswara menekankan bahwa kebijakan strategis Dedi ini harus diterjemahkan secara teknis dan fungsional oleh dinas terkait, tanpa perlu menunggu instruksi berulang.
