Bandung (ANTARA) - Sebagian mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) yang memilih menjalani rutinitas pulang-pergi (PP) dari Bandung ke Kampus Jatinangor, beranggapan bahwa gelar yang sejatinya mereka kejar adalah gelar S.PP alias Sarjana Pulang Pergi.
Gelar tersebut didapat dari rutinitas perjalanan rute Bus Trans Metro Pasundan (TMP) koridor Dipati Ukur-Jatinangor. Jalur tersebut dianggap sebagai ritual pergeseran dimensi yang membawa mahasiswa dari kota Kembang menuju Jatinewyork, sebutan bagi Jatinangor yang dianggap padat mahasiswa.
Momen paling krusial dari ritual ini adalah ketika mengantri bersama belasan bahkan puluhan orang di halte bus. Mereka bukan hanya mengantri untuk menunggu, melainkan bersiap untuk menyerbu kursi, lebih brutal dan kompetitif daripada seleksi masuk Unpad sendiri.
Mereka yang berhasil mendapatkan kursi sering memperlihatkan kemenangan dengan memasang headset dan berpura-pura tidur atau memang benar-benar tertidur. Sementara bagi mereka yang kalah dalam perebutan tersebut, harus berdiri tegak untuk menyeimbangkan diri di tengah kecepatan bus yang menguji iman dan ketahanan lutut.
Di dalam bus TMP inilah ironi paling epik terjadi. Alih-alih beristirahat, para mahasiswa justru menyulap bus menjadi ruang belajar berjalan.
Kerapkali terlihat mahasiswa sedang sibuk mengetik laporan tugas di atas laptop yang diletakkan di paha. Sementara yang lain, terlihat sedang mengoreksi slide presentasi, bahkan ada yang terpaksa menghafal teori komunikasi visual di tengah guncangan rem mendadak.
Kehidupan akademik yang seharusnya berlangsung di ruang kuliah, kini harus berlangsung di atas roda, ditemani dinginnya AC bus dan desahan napas mahasiswa yang kelelahan.
Mereka secara tidak langsung membayar mahal, baik waktu maupun punggung, demi mempertahankan produktivitas, hanya untuk dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka hanyalah butiran debu yang tak berdaya di hadapan kemacetan Gerbang Tol Cileunyi.
Perjalanan pulang-pergi ini menyadarkan mahasiswa bahwa kuliah bukan sekadar mempelajari teori, melainkan pelatihan ketahanan mental dan fisik yang harus diterima dengan tabah, atau setidaknya, ditertawakan.
Pada akhirnya, pencapaian terbesar mereka mungkin bukan hanya gelar sarjana, melainkan kemampuan untuk selamat dari rute Dipati ukur-Jatinangor selama kurang lebih delapan semester.
