Bandung (ANTARA) - Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (Unpar), Agustinus Pohan mengharapkan posisi antar pihak yang berperkara dalam hukum acara pidana, harus seimbang dan masuk dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) yang baru.
Terkait pihak-pihak berperkara, yakni tersangka/terdakwa dan penasihat hukum-nya, posisinya secara ideal merupakan subjek dalam norma dan praktik peradilan pidana. Namun seringkali, selama ini ditempatkan sebagai objek, kata dia dalam acara Diskusi Publik RUU HAP, di Bandung, Rabu.
Menurut Pohan juga, saat ini ada kebingungan bagaimana hendak dilakukan tujuan RUU HAP yang ingin menciptakan acara pidana, memadukan secara seimbang sistem hakim aktif.
Jika hendak memunculkan "battle" model, kata dia, maka pra-syaratnya harus ada "equality of arms". Konsekuensinya pihak yang terlibat dalam peradilan pidana harus diberikan modal "persenjataan" yang sama kuat, utamanya akses secara lengkap.
Penasihat hukum, lanjut dia, seharusnya bisa dijamin keaktifannya dalam pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan, dengan diberikan akses untuk mengusulkan pada penyidik untuk memeriksa atau tidak memeriksa satu dan lain hal dari tersangka.
"Tersangka/Terdakwa serta penasehat hukum harusnya juga dijamin haknya untuk mendapatkan seluruh berita acara sesegera mungkin, selambatnya satu hari sejak ditandatangani. UU HAP mendatang harus bisa menjamin hak-hak ini agar tercipta equality of arms," kata Pohan dalam diskusi RUU HAP.
Sementara soal kewenangan penyidikan, lanjut Pohan, dikenal dua model yang masing-masing berada pada dua kutub ekstrem yakni diferensiasi fungsional dan "dominus litis".
Diferensiasi fungsional pada satu sisi, berbicara bahwa harus ada batas tegas pemisahan kewenangan tiap lembaga dalam proses peradilan pidana (penyidikan, penuntutan, peradilan), sementara dominus litis berbicara mengenai jaksa yang memegang peran pemilik/pengendali perkara pidana.
Dalam diferensiasi fungsional, salah satu bahaya yang dihadapi adalah proses peradilan pidana tidak dilihat secara utuh, tetapi dilihat dan dipahami secara fragmentaris, karena penekanan diferensiasi fungsional adalah pada fungsi serta cara bekerja setiap lembaga yang terlibat dalam proses itu.
Sementara dalam dominus litis, penekanannya adalah pada peran sentral Jaksa untuk memastikan bahwa perkara pidana yang sedang diproses, layak untuk diajukan ke pengadilan.
Hukum acara pidana yang ideal, kata dia, tidak memihak salah satu, melainkan mengintegrasi secara seimbang antara diferensiasi fungsional dan dominus litis, untuk membangun model hibrida yang baru dan lebih baik dari yang dianut KUHAP saat ini dengan memanfaatkan tahapan yang sudah ada.