Bandung (ANTARA) - DPC Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Bandung berkolaborasi dengan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) melakukan kajian untuk memberikan masukan pada Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) untuk keadilan dan keseimbangan dalam menyikapi protes kewenangan militer atas bidang-bidang sipil.
Ketua Tim Pengkaji RUU HAP Budi Prastowo di Kampus Unpar, Bandung, Senin, menjelaskan dalam dinamika hukum pidana modern, sistem peradilan pidana harus didesain sedemikian rupa agar mampu beradaptasi dengan tantangan baru, namun di sisi lain tetap tunduk pada supremasi hukum dan orientasi pelindungan Hak Asasi Manusia.
"Di tengah gempuran protes kewenangan militer atas bidang-bidang sipil, salah satu kepentingan masyarakat yang tidak boleh terlupakan adalah reformasi hukum acara pidana. Kepentingan-kepentingan tersebut mendorong penyusunan kajian akademik guna memberikan masukan konstruktif bagi perancangan RUU HAP," kata Budi.
Dekan Fakultas Hukum Unpar itu, menyebutkan terlepas dari kesan eksklusivitas pembahasan RUU HAP, kajian substantifnya harus tetap digaungkan oleh berbagai lapisan masyarakat. Karenanya tim AAI-FH Unpar membedah dan mengkritisi RUU HAP bersama-sama.
Dengan mempertimbangkan bahwa akses terhadap draf tersebut masih terbatas yang hanya dapat diperoleh melalui permintaan resmi ke situs sekretariat DPR tanpa kepastian jawaban, sehingga pada akhirnya bisa diperoleh melalui lobi-lobi informal.
Kajian ini, kata dia, berfokus pada isu-isu yang dianggap paling fundamental bagi hukum acara pidana yang ideal, terlepas dari apa pun yang termuat dalam draf yang sulit diakses tersebut.
Beberapa isu krusial yang menjadi perhatian dalam kajian ini meliputi:
1. Keadilan restoratif sebagai konsep keadilan.
Mengingat, ujar Budi, selama ini keadilan restoratif sebatas dipahami sebagai mekanisme penyelesaian perkara pidana secara alternatif, dinilai perlu digeser tingkatannya ke arah yang lebih abstrak-filosofis yang menyoal tentang keadilan dan bagaimana hukum pidana dapat ditegakkan berdasarkan konsepsi keadilan yang restoratif itu.
"Dalam RUU HAP yang beredar, tidak tampak hubungan keadilan restoratif dengan keterlibatan masyarakat, dan terkesan hanya direduksi pada persoalan penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, bahkan hanya soal ganti rugi yang sifatnya transaksional," ujarnya.
2. Akses Tersangka/Terdakwa dan Penasihat Hukum dalam tahapan peradilan pidana.
Dalam jalannya peradilan pidana, ucap dia, tersangka/terdakwa sering dipandang sebagai objek peradilan, padahal semestinya punya peran yang berarti dalam peradilan pidana, sehingga diperlukan adanya peningkatan akses tersangka/terdakwa dan penasihat hukum terhadap proses peradilan.
RUU HAP, saat ini, lanjut dia, masih banyak memuat celah kemungkinan timbulnya permasalahan bila nantinya diberlakukan, diantaranya adalah ketidakseimbangan hak dan kewenangan penyidik atau penuntut umum dibandingkan dengan tersangka/terdakwa yang didampingi Penasihat Hukum.
"Ketidakseimbangan tersebut tercermin jelas salah satunya dalam Pasal 142 ayat (3) huruf b RUU HAP yang melarang advokat memberikan pendapat di luar pengadilan terkait permasalahan kliennya, yang akan semakin menggerus peran tersangka/terdakwa-advokat dalam melakukan pembelaan diri," ucapnya.
3. Kewenangan penyidikan antara kepolisian dan kejaksaan.
Kewenangan itu, kata dia, seyogyanya diseimbangkan di tengah tarik-menarik antara doktrin diferensiasi fungsional dan dominus litis. Demikian juga isu mengenai kewenangan kejaksaan untuk menjadi penyidik dalam tindak pidana khusus, seperti kasus korupsi.
Untuk mengupas isu-isu krusial tersebut, kata Ketua DPC AAI Bandung Aldis Sandhika, tim dari AAI-FH Unpar mengusulkan suatu jalan tengah yang dinilai mutlak harus ada dalam diskursus RUU HAP, guna membangun sistem peradilan pidana yang adil, efektif, dan berorientasi pada pelindungan Hak Asasi Manusia.
"Standar hukum yang dicerminkan dari setiap pasal yang diusulkan dalam RUU HAP justru tidak boleh lebih rendah dari KUHAP yang berlaku saat ini," kata Aldis.
Sebagai bagian dari penyempurnaan hasil kajian, AAI-FH Unpar akan menyelenggarakan diskusi publik pada hari Senin tanggal 9 April 2025.
"Dalam diskusi publik tersebut tidak hanya akan dipaparkan hasil kajian, melainkan membuka kesempatan bagi media, akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat luas untuk ikut serta dalam perdebatan intelektual yang akan menentukan arah langkah sistem peradilan pidana Indonesia," tutur dia.