Bandung (ANTARA) - DPC Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Bandung dan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan yang pada Rabu ini menggelar diskusi publik, mengharapkan restorative justice dalam UU Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru tidak berkesan transaksional.
Pasalnya, kata Ketua Tim Pengkaji RUU HAP Budi Prastowo, di Bandung, Rabu, keadilan restoratif yang kini diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif masih sempit.
Yakni, pada pada tata cara penyelesaian perkara tindak pidana, walaupun dituliskan dalam bunyi teks yang berbeda. Padahal sebenarnya secara ideal keadilan restoratif perlu dimaknai sebagai konsepsi tentang keadilan.
"Yakni bagaimana aparat penegak hukum, pemerintah/negara, dan masyarakat secara keseluruhan memandang sistem peradilan pidana, bukan sebatas pada tata cara. Bahkan selama ini hanya terkesan transaksional," kata Dekan Fakultas Hukum Unpar ini.
Secara teoritis, lanjut dia, paradigma keadilan restoratif dapat dimaknai dalam tiga konsepsi, yaitu:
1. Encounter conception, dengan mempertemukan korban dan pelaku. Keadilan restoratif dimaknai sebagai konsensus antara korban dan pelaku.
2. Reparative conception, dengan mengutamakan upaya pemulihan bagi seluruh pihak, terutama bagi korban. Keadilan restoratif dimaknai sebagai pemulihan bagi kedua belah pihak.
3. Transformative conception, dengan mengubah masyarakat menuju masyarakat yang adil. Keadilan restoratif tidak cukup dimaknai sebagai keadilan antara pelaku-korban, tetapi harus juga mencakup keseluruhan masyarakat. Konsepsi yang ini adalah konsep yang paling ideal dalam memahami keadilan restoratif.
Perumusan UU HAP yang akan datang, menurut dia, idealnya menganut transformative conception, alih-alih mereduksi keadilan restoratif menjadi semata-mata mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan sebagaimana ditemukan dalam RUU HAP.
"Jika demikian, keadilan restoratif justru akan berujung ketidakadilan, karena masyarakat tidak benar-benar terlibat dalam transformasi yang dibidik, atau bahkan lebih buruk hanya bersifat transaksional antara pelaku dan korban," ujarnya.