Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat telah menghentikan 103 perkara hukum yang ditanganinya melalui keadilan restoratif dalam kurun waktu sembilan bulan ini atau sampai September 2023, .
Kasi Penerangan Hukum Kejati Jabar Nur Sricahyawijaya mengungkapkan bahwa penghentian 103 perkara ini, melalui program restorative justice dari kejaksaan dengan berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
"Dalam sembilan bulan terakhir, di Tahun 2023 yang diajukan untuk penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, jumlahnya cukup signifikan yakni sebanyak 103 perkara dari berbagai jenis bentuk perkara," kata Cahya di Bandung, Jumat.
Adapun perkara yang dihentikan penuntutannya melalui restorative justice, kata Cahya, di antaranya perkara pencurian, penadahan, penganiayaan dan perkara lainnya.
Restorative justice sebagai bentuk pelaksanaan asas dominus litis, lanjut Cahya, merupakan kewenangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam menyelesaikan perkara di luar pengadilan secara formal, sebagaimana diatur dalam Pasal 139 KUHAP Jo. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
"Kemudian, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengimplementasikannya dengan penerbitan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif," ucap dia.
Dengan dirasakannya secara langsung oleh masyarakat atas program restorative justice ini, tambah dia, adalah tujuan dari kejaksaan yang harus memberikan rasa keadilan pada masyarakat dengan semangat kejaksaan harus tajam ke atas, humanis ke bawah.
"Karena sejatinya musyawarah merupakan hukum tertinggi terutama perkara yang sederhana. Sehingga diharapkan dengan adanya program restorative justice ini, kesadaran hukum masyarakat juga terus meningkat," tuturnya.
Kasi Penerangan Hukum Kejati Jabar Nur Sricahyawijaya mengungkapkan bahwa penghentian 103 perkara ini, melalui program restorative justice dari kejaksaan dengan berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
"Dalam sembilan bulan terakhir, di Tahun 2023 yang diajukan untuk penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, jumlahnya cukup signifikan yakni sebanyak 103 perkara dari berbagai jenis bentuk perkara," kata Cahya di Bandung, Jumat.
Adapun perkara yang dihentikan penuntutannya melalui restorative justice, kata Cahya, di antaranya perkara pencurian, penadahan, penganiayaan dan perkara lainnya.
Restorative justice sebagai bentuk pelaksanaan asas dominus litis, lanjut Cahya, merupakan kewenangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam menyelesaikan perkara di luar pengadilan secara formal, sebagaimana diatur dalam Pasal 139 KUHAP Jo. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
"Kemudian, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengimplementasikannya dengan penerbitan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif," ucap dia.
Dengan dirasakannya secara langsung oleh masyarakat atas program restorative justice ini, tambah dia, adalah tujuan dari kejaksaan yang harus memberikan rasa keadilan pada masyarakat dengan semangat kejaksaan harus tajam ke atas, humanis ke bawah.
"Karena sejatinya musyawarah merupakan hukum tertinggi terutama perkara yang sederhana. Sehingga diharapkan dengan adanya program restorative justice ini, kesadaran hukum masyarakat juga terus meningkat," tuturnya.