Pada akhir masa pandemi COVID-19, berita tentang Kang Tejo pernah meramaikan media massa dan media sosial, karena membawa ujian skripsi mahasiswa dari kampus ke kebunnya.
Karena berada di kebun, maka sang dosen hanya mengenakan pakaian petani saat menguji mahasiswanya. Para mahasiswa sangat menikmati suasana dan tempat ujian yang tidak lazim itu, namun memberikan suasana nyaman dan rileks.
Setelah beberapa tahun melakoni kegiatan berkebun, kini Kang Tejo mulai menanam umbi-umbian jenis lain, selain singkong dan ketela rambat.
Kang Tejo mendapatkan bibit uwi manalagi dari temannya, dan setelah ditanam sekitar 9 bulan, kini panen dengan hasil uwi seberat 55-60 kilogram per batang.
Banyak orang yang lewat, kemudian mampir ke kebun dan bertanya apakah Kang Tejo menerapkan ilmu teknis pertanian sehingga hasilnya sangat bagus.
Kang Tejo mengaku hanya mengandalkan rasa bahwa tanah harus gembur dan subur. Maka dipilihlah sarana sampah sebagai kompos dan sekam bakar untuk menjaga kegemburan tanah, ditambah dengan perawatan yang melibatkan rasa dan cinta kasih.
Semua hasil dari perkebunan itu tidak dijual, tetapi dibagi-bagi kepada para tetangga dan koleganya. Beberapa orang datang untuk membeli uwi, namun ditolak dan diberi gratis.
Kebun literasi dan relaksasi
Sebelumnya, Kang Tejo sering menyelenggarakan kegiatan terkait budaya literasi yang diadakan di kampus tempatnya mengajar atau di "rumah buku", salah satu rumahnya yang dijadikan tempat puluhan ribu buku atau perpustakaan pribadi.
Kini, kegiatan itu banyak memanfaatkan areal kebun. Karena itu, areal tersebut lebih dikenal sebagai "kebun literasi". Di bagian utara kebun ada panggung untuk tampil para seniman atau sastrawan yang dihadirkan untuk berdiskusi atau sekadar pentas.
Spektrum - Berkebun dengan cinta, Fatihah, dan salawat
Sabtu, 27 April 2024 8:00 WIB