Jakarta (ANTARA) - Selepas pesta demokrasi, masyarakat menghadapi tantangan harga pangan yang belum stabil.
Sempat beberapa waktu lalu berbagai kebutuhan pokok bukan saja naik tetapi langka bahkan untuk beras misalnya.
Di berbagai daerah, masyarakat pun rela dibuat antre untuk berburu beras murah, melalui operasi pasar atau gerakan pangan murah yang diinisiasi BUMN, kementerian/lembaga.
Selain harga beras, tak luput harga bahan pangan lain pun mengalami kondisi serupa termasuk telur, daging ayam broiler, daging sapi, hingga cabai rawit yang melambung sampai Rp100 ribuan per kg.
Begitu juga telur yang sempat mencapai Rp34.000 per kg, bahkan ayam broiler di pasar tradisional di Jakarta pernah mencapai Rp65.000. Daging sapi menyusul naik ke harga Rp 150.000 per kg.
Momen Ramadhan memang berkontribusi menggerakkan ekonomi tetapi lantaran permintaan tinggi harga pun terpicu naik. Beberapa faktor lain tampaknya juga secara signifikan berpengaruh.
Merespons melambungnya harga beras, Presiden Jokowi mengatakan bahwa hal ini dipicu oleh salah satunya faktor perubahan iklim global. Negara lain pun mengalaminya, kata Presiden.
Namun produksi beras di beberapa negara ASEAN mengalami surplus, seperti di Vietnam, Kamboja, dan Thailand. Sehingga ketiga negara itu menjadi pengekspor atau eksportir beras ke Indonesia. Terkait harga beras, di Malaysia dan Singapura lebih murah dibanding harga beras di Indonesia.
Fakta ini menjadi latar belakang yang mendorong bangsa ini harus melihat kembali sebab musabab kenaikan harga beras untuk kemudian menentukan langkah yang paling efektif agar harga pangan tetap stabil, terjangkau, dan selalu tersedia bagi masyarakat di seluruh tanah air.