Sebab, lagi-lagi data BPS menunjukkan bahwa prosentase konsumsi rokok di rumah tangga menengah bawah adalah sangat tinggi, nomor dua setelah beras.
Jadi kenaikan harga beras, bisa direspons dengan mengubah pola konsumsi yang lebih fair, lebih rasional.
Artinya alokasi untuk membeli rokok, bisa dialihkan (dimigrasikan) untuk membeli beras, yang punya kilo kalori tinggi.
Sedangkan rokok nol kalori, nol protein. Lihatlah jika harga rokok Rp20.000 per bungkus, itu sudah bisa untuk membeli 1,5 liter beras, atau 0,75 kg telur ayam.
Intinya, kenaikan harga bahan pangan harus disikapi secara cerdas, dari hulu hingga hilir. Bukan saja oleh pemerintah, pelaku pasar, tetapi juga masyarakat.
Pemerintah didorong untuk menyelamatkan lahan produktif pertanian, menyelamatkan petani dengan memasok pupuk dengan harga murah, dan gampang diakses di pasaran.
Tata niaga beras dan distribusi juga harus disederhanakan. Harus ada desain yang integratif dan komprehensif, agar generasi muda mau menjadi petani.
Kemudian jangan bergantung dan menggampangkan impor beras, dan bahan pangan lainnya.
Bagi masyarakat, khususnya di kalangan rumah tangga menengah bawah, berkonsumsilah secara cerdas dan rasional. Selain berlatih dengan sumber bahan pangan non beras, cobalah alihkan biaya konsumsi produk tembakau (rokok) untuk biaya membeli beras.
Telaah - Bijak menyikapi kenaikan harga bahan pangan
Oleh Tulus Abadi*) Sabtu, 30 Maret 2024 10:06 WIB