Jakarta (ANTARA) - Gemertak tuas gerigi dari arloji yang menunjukkan pukul 18.53 WIB, nyaris terdengar jelas di dalam balairung sunyi dengan suasana remang temaram nan menyelimuti seratusan kepala. Beberapa orang yang duduk tenang di barisan terdepan, sesekali terlihat menajamkan mata, mencermati sumber cahaya yang berpendar di hadapan mereka.
Pendaran cahaya itu jatuh di setiap lekuk panggung yang dipadati beraneka ragam alat musik: deret biola lengkap dengan bow, flute berwarna keperakan, sebuah double bass, dan satu set drum sederhana. Di belakang deret alat musik tersebut, berjejer rapi 20 kursi yang nantinya akan ditempati para anggota paduan suara.
Beberapa meter menjorok ke bagian belakang dari deret kursi paduan suara, terdapat sebuah layar digital persegi berukuran sekitar 10 kali 5 meter. Layar itu menampilkan foto seorang lelaki berkacamata, berpakaian jas lengkap, serta berkopiah hitam dengan latar belakang berwarna merah menyala.
Warna merah menyala yang memberikan makna keberanian itu seolah berkelindan dengan nuansa remang di dalam ruangan yang penuh khidmat. Masih dalam kesunyian yang ditingkahi kertak suara alat komunikasi nirkabel protofon, sekitar selusin musikus segera mengambil tempat di atas panggung dan mempersiapkan alat musik yang menjadi senjata mereka malam itu.Sejurus kemudian, seorang lelaki pewara muncul ke titik lampu sorot yang telah ditentukan di bagian sudut kiri bibir panggung.
"Selamat malam Bapak dan Ibu. Selamat datang dalam konser perdana peluncuran album lagu-lagu Wage Rudolf Soepratman bersama Antea Putri Turk," buka sang pewara yang berbalas tepukan tangan dari audiens.
Wage Rudolf (WR) Soepratman dan Antea Putri Turk adalah dua nama yang memiliki garis hubungan kekeluargaan. Nama pertama dikenal sebagai seorang komposer, penyair, penulis, wartawan, sekaligus pahlawan nasional Indonesia yang masyhur karena menjadi sosok di balik lagu kebangsaan "Indonesia Raya" dan banyak karya patriotik lainnya.