Kemudian dia mengumpamakan, asupan informasi mereka tak ubahnya pop mi siap saji, bukan rendang Padang yang diolah padat waktu, panas, dan berbahan daging terbaik.
“Saya ingin sekali, media massa adalah rumah makan olahan daging terbaik, sedangkan influencer biar saja memberikan pop mi,” kata Eri, begitu panggilan karib Abdullah Khusairi.
Dalam persaingan antara media massa dan media sosial, pekerjaan terbesar pekerja pers, adalah meningkatkan kualitas untuk melawan viral. Jika kualitas karya jurnalistiknya jauh di atas rata-rata dari konten YouTuber, tentu saja tidak akan menjadi pesaing.
Kualitas karya jurnalistik adalah kunci, baik ketika berbicara masalah profesionalisme, kebebasan pers, apalagi saat menuntut upah layak.
Kemudahan teknologi yang semestinya sangat membantu kerja jurnalistik, nyatanya malah membuat malas para jurnalis.
Mengenai kualitas kerja jurnalis, mantan Redaktur Pelaksana Harian Pagi Padang Ekspres itu menyoroti dari sisi proses rekrutmen. Yang kini terjadi, input jurnalis baru dinilainya sangat buruk. Datang dari mana saja tanpa persiapan yang mumpuni.
Sarjana yang bukan berasal dari passion mereka saat di kampus, lalu di lembaga pers mereka tidak pula diasah dan langsung diterjunkan ke lapangan. Eri mengibaratkan itu seumpama anak jalanan yang diasuh di lampu merah.
“Lembaga pers harus bertanggung jawab, organisasi pers harus menyadari mereka kian tidak relevan dengan zaman,” tandasnya.