Tapi memang, Eri memandang karya jurnalistik hari ini sangat receh. Beberapa karya hardnews dia temukan, dibuat tanpa berpeluh. Dia pun terheran, bagaimana bisa karya yang dibuat hanya dengan copas (copy paste) atau tidak berpeluh, namun ingin dibayar mahal.
“Kalau sekadar menjadi 'reporter saksi pelapor' di mana rasa puas mengemban profesi,” ia menyayangkan.
Dia ingin, pers berdiri lebih depan dari media sosial, harus di depan influencer.
Kata mereka
Keberadaan para kreator konten di media sosial yang mampu menyedot jutaan penonton dengan karya-karya kreatifnya, ditanggapi beragam oleh praktisi dan pekerja media. Ada yang menjadikannya pelecut untuk berkarya lebih bagus, ada pula yang merasa tersaingi hingga langsung melakukan serangan ke sarangnya, dengan menciptakan akun YouTube sendiri.
Praktisi penyiaran RRI Banjarmasin Yedi Yulistiadi, memandang eksistensi para YouTuber atau influencer bukan merupakan pesaing justru menjadikan para praktisi penyiaran semakin terpacu dan memicu semangat untuk menghasilkan konten-konten yang lebih bermutu dan disukai khalayak luas.
Tinggal bagaimana dia melihat target konten yang ingin dicapai sesuai segmentasi pasar yang disasar.
Untuk itu, diperlukan kesiapan strategi manajemen sebagai penyedia konten siaran, termasuk Podcast.
Untuk meningkatkan kualitas program siaran harus ada perencanaan, menentukan tim kreator kerabat kerja, sesuai keahliannya, riset development untuk menentukan pasar yang dituju dan analis sosial media.