JAKARTA (ANTARA) - Inilah era di mana media massa tidak boleh lagi besar kepala oleh karena menjadi satu-satunya sumber informasi. Media sosial, utamanya platform berbagi video, telah mengambil peran itu dengan konten yang lebih segar dan atraktif. Memangnya boleh konten medsos semenarik itu, sementara produk jurnalistik masih berdiam diri pada level yang biasa-biasa saja?
Persoalan ini menjadi relevan untuk diangkat ke permukaan, berkenaan dengan perayaan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) yang tengah berlangsung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.
Harsiarnas biasanya diperingati setiap tanggal 1 April, mengambil momen berdirinya Solosche Radio Vereeniging (SRV) pada 1 April 1933. Peringatan ke-90 Harsiarnas 2023 dirayakan pada 10-12 Agustus.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyebut, Harsiarnas 2023 yang akan diselenggarakan KPI diharapkan dapat mendorong para lembaga penyiaran untuk menjaga komitmen menyiarkan informasi yang edukatif dan berkualitas membantu sumber daya manusia (SDM) Indonesia semakin unggul.
Lahirnya lembaga penyiaran radio pertama milik bangsa Indonesia, SRV, atas prakarsa penguasa Kadipaten Mangkunegaran, Solo, Kanjeng Gusti Adipati Aryo Mangkunagoro VII, yang menjadi cikal bakal ditetapkannya sebagai Hari Penyiaran Nasional.
Kini, sembilan dekade telah terlewati dan perkembangan dunia penyiaran tentu saja sudah berubah sedemikian rupa. Perkembangan baru yang paling menyolok adalah program siaran dan produk informasi yang tak lagi didominasi oleh media massa. Media sosial telah merangsek ke ranah itu. YouTuber dan influencer (pemengaruh) tengah getol memproduksi konten-konten berbasis informasi yang atraktif dan menggoda selera tonton para audiens, sehingga mampu mendulang jutaan viewer.
Seharusnya tak menjadi masalah, karena baik jurnalis maupun YouTuber, memiliki arena main berbeda. Akan tetapi pergerakan penonton ke arah medsos sungguh telah membuat gusar pakar komunikasi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang Abdullah Khusairi.
“Saya tentu saja gusar dengan keadaan ini, ketika seluruh mahasiswa ditanya, dari mana asupan informasi yang mereka dapatkan? Serempak menjawab dari media sosial. Dan tak satupun media sosial media mainstream yang di-follow,” kata dosen jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) itu.