Buku tentang kisah Letnan Jenderal (Letjen) TNI (Purn) Hartono Rekso (HR) Dharsono bertajuk "Kisah Seorang Jenderal Idealis H.R. Dharsono", diluncurkan di Jakarta, Sabtu (19/2) 2023
Penulis buku tersebut, Rum Aly dalam taklimat media yang diterima di Bandung, Jawa Barat, Sabtu menyatakan buku ini menarasikan beberapa penggalan penting sejarah politik dan kekuasaan Indonesia kontemporer yang menempatkan HR Dharsono sebagai fokus karena perannya pada masa-masa tersebut.
Penulis buku tersebut, Rum Aly dalam taklimat media yang diterima di Bandung, Jawa Barat, Sabtu menyatakan buku ini menarasikan beberapa penggalan penting sejarah politik dan kekuasaan Indonesia kontemporer yang menempatkan HR Dharsono sebagai fokus karena perannya pada masa-masa tersebut.
Letjen HR Dharsono adalah seorang pejuang yang bertarung dalam perang kemerdekaan Republik Indonesia dan menjadi Panglima Kodam Siliwangi 1966-1969.
Rum Aly menyatakan sosok HR Dharsono,pejuang dalam perang kemerdekaan, dan menjadi Panglima Divisi Fenomenal Siliwangi 1966-1969 adalah seorang idealis yang kaya gagasan, termasuk dan terutama gagasannya tentang masa depan kehidupan politik nasional yang merupakan salah satu pondasi kehidupan bernegara.
Namun gagasan-gagasannya tentang pembaruan politik Indonesia justru kandas di antara penguasa pragmatis saat itu.
Hal itu, kata dia, tidak lain karena mereka semua sama-sama ingin mempertahankan status quo demi kepentingan kekuasaan mereka masing-masing usai tumbangnya Presiden Soekarno.
Lalu, menghasilkan situasi tragis, betapa pembaruan politik yang sesungguhnya diperlukan bangsa ini, yang belum kunjung terwujud dan pembaruan kehidupan politik Indonesia, tetap merupakan kebutuhan relevan untuk Indonesia hingga kini.
Selain menuturkan sejumlah titik krusial dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945-1950, kata Rum, buku ini juga memaparkan episode penting dalam sejarah kekuasaan di masa Indonesia merdeka.
Salah satunya adalah proses pengakhiran kekuasaan Soekarno setelah terjadinya peristiwa 30 September 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Separuh lebih dari topangan kekuatan Jenderal Soeharto dalam menghadapi Soekarno ada pada Jenderal H.R. Dharsono yang kala itu menjadi Panglima Siliwangi.
Posisi Divisi Siliwangi waktu itu amat strategis dan menentukan, karena Ibu Kota Jakarta praktis dikelilingi busur wilayah divisi tersebut.
Proses perubahan kekuasaan kala itu itu tergambarkan berisi lakon politik yang di sana-sini beraroma pewayangan.
Namun berbeda dengan Soeharto yang sangat khas Jawa, Jenderal H.R. Dharsono bersikap lebih tegas di garis depan proses menurunkan Soekarno.
Hal yang paling menarik perhatian dan menjadi catatan penting dalam sejarah politik Indonesia adalah dilontarkannya gagasan pembaruan politik Indonesia oleh H.R. Dharsono di tahun 1968-1969 bersama kelompok aktivis pergerakan 1966 dari Bandung.
Dalam konteks pembaruan politik setelah era Nasakom, H.R. Dharsono dan teman-teman mudanya mengagas perombakan struktur politik dan kepartaian melalui konsep dwi grup yang mengerucut sebagai dwi partai.
Memiliki kepentingan yang berbeda demi kekuasaannya sendiri, Soeharto dan sejumlah jenderal di lingkarannya menolak dan bergerak mengandaskan gerakan pembaruan itu.
Dimulai dengan semacam "exile" bagi Letjen H.R. Dharsono dengan penugasan baru jauh dari Tanah Air, yakni menjadi Duta Besar RI di Thailand, Kamboja serta tugas perdamaian di Vietnam.
Senasib dengan H.R. Dharsono, dua jenderal idealis lainnya, Sarwo Edhie Wibowo dan Kemal Idris, pada sekitar waktu yang sama juga ditugaskan jauh dari Jakarta untuk beberapa tahun lamanya.
"Dan semua ini ada tali temalinya dengan rivalitas yang subjektif di tubuh kekuasaan, antara lain karena kekuatiran akan kemungkinan munculnya matahari baru dalam kekuasaan," kata Rum Aly.
Bersamaan dengan waktu peluncuran buku tersebut dilangsungkan sebuah diskusi yang berkaitan dengan sejumlah peristiwa politik penting yang pernah terjadi di Indonesia.
Para pembicara dalam diskusi adalah Dr Marzuki Darusman SH pegiat HAM internasional yang pernah menjadi Jaksa Agung RI, sejarawan Dr Anhar Gonggong, Ir Sarwono Kusumaatmadja yang pernah menduduki pos kabinet di era dua presiden, akademisi Universitas Indonesia (UI) Dr Hikmahanto Juwana serta pengacara terkemuka Dr Luhut Pangaribuan.
Adapun pembicara kunci adalah Mohamad S. Hidayat, Menteri Perindustrian RI (2009-2014) dan mantan Ketua Umum Kadin yang juga adalah aktivis mahasiswa 1966.