"Kami merekomendasikan agar JPU melakukan banding dan dalam memori bandingnya memperkuat argumentasi dan bukti-bukti tentang tentang tindak pidana perkosaan yang dilakukan terdakwa," ujar Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan KemenPPPA Margareth Robin Korwa dalam keterangan, Jakarta, Rabu (7/12).
Menurutnya, majelis hakim seharusnya memberikan hukuman yang lebih berat karena tindakan pelaku telah menimbulkan penderitaan bagi korban.
"Kami memandang seharusnya hakim tidak mempertimbangkan alasan yang meringankan karena tindakan terdakwa telah menimbulkan penderitaan yang panjang bagi korban," kata Margareth Robin Korwa.
Selain itu, pelaku juga tidak kooperatif selama menjalani persidangan.
"Selama proses hukum, terdakwa juga telah merendahkan harkat martabat perempuan melalui kuasa hukumnya. Terdakwa juga tidak kooperatif ketika ditetapkan sebagai tersangka seolah merendahkan hukum. Seharusnya majelis hakim menghukum terdakwa dengan alasan yang memberatkan," kata Margareth Robin Korwa.
Pihaknya juga mengkritisi sikap majelis hakim yang menyebutkan identitas korban saat membacakan putusan karena hal tersebut bertentangan dengan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
"Dalam Pasal 59 ayat 2 disebutkan bahwa hakim harus merahasiakan identitas korban saat membacakan putusan yang terbuka untuk umum. Namun dalam sidang yang digelar 17 November 2022, majelis hakim menyebutkan identitas korban," katanya.