Namun Nia tidak ingin warganya berpangku tangan saja, karena masa tanggap darurat diputuskan pemerintah hanya selama 30 hari. Perjalanan hidup selanjutnya menjadi tanggung jawab masing-masing warganya.
Nia meminta warganya untuk kembali bekerja, walau mereka kehilangan rumahnya, tetapi tidak kehilangan mata pencaharian sebagai petani. Kebun-kebun mereka perlu diurus, agar bisa kembali menghasilkan sayuran untuk dijual.
“Kami itu kehilangan rumah, tempat untuk tinggal, tapi kami tidak kehilangan mata pencaharian. Ayo kembali kerja, ada kebun-kebun yang perlu kita urus,” kata Nia kepada warganya.
Tidak hanya aparat desa yang memiliki semangat untuk bangkit dari bencana, warga diwakili para ketua RT dan RW juga punya niatan yang sama, bahkan dengan antusiasnya mereka mengisi daftar kebutuhan harian warganya.
Mereka tak segan-segan bertanya berkali-kali kepada kepala desa terkait tata cara pengisian formulir bantuan tersebut. Mereka juga menyampaikan aspirasi apa saja yang mereka butuhkan selama di pengungsian, seperti meminta pengamanan untuk rumah-rumah mereka yang ditinggal agar tidak dijarah oleh maling.
Erwin, Ketua RT 02 RW 02 sempat curhat, bahwa pengurus RT sudah berjibaku mendistribusikan bantuan untuk warganya. Ia berharap kerja sama warga agar jangan sampai lelah letih mereka sia-sia karena berita warga yang mengaku belum makan.
Serda Acep Agung, anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa) Desa Ciputri, waspada dengan menggerakkan keamanan lingkungan, memberlakukan sistem keamanan keliling (siskamling) atau ronda, agar rumah-rumah yang ditinggal penghuni saat mengungsi tetap terjaga dari tangan-tangan jahil yang mencari keuntungan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Melihat keguyuban warga Desa Ciputri-Sarongge bangkit dari gempa