Jakarta (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Mohammad Syahril mengemukakan hasil diagnosa terhadap sembilan pasien yang dicurigai tertular Monkeypox atau cacar monyet di Indonesia, terbukti secara klinis mengidap penyakit lain.
"Rincian hasil pemeriksaan dari kasus yang dicurigai, sebanyak tujuh kasus terdiagnosa negatif PCR orthopoxviridae, satu kasus menderita pemfigoid bulosa, dan satu kasus varicella," kata Juru Bicara Mohammad Syahril saat menyampaikan keterangan pers yang diikuti dari Zoom di Jakarta, Jumat sore.
Orthopoxviridae adalah virus penyebab penyakit Monkeypox, pemfigoid bulosa adalah kejadian munculnya lepuhan berisi cairan di kulit yang terasa gatal, serta varicella yang merupakan cacar air.
Sejumlah provinsi yang melaporkan perkembangan Monkeypox di Indonesia di antaranya Kalimantan Barat satu kasus, Jawa Tengah satu kasus, Jawa Barat tiga kasus, dan DKI Jakarta empat kasus.
"Hingga hari ini, beberapa wilayah telah melaporkan kasus yang dicurigai, namun berdasarkan hasil penyelidikan lebih lanjut belum ada satupun yang memenuhi kriteria suspek maupun probable," ujarnya.
Syahril mengatakan pemerintah telah memfasilitasi laboratorium rujukan pemeriksaan Monkeypox di Indonesia, di antaranya Pusat Studi Satwa Primata, LPPM IPB Bogor, dan Laboratorium Penelitian Penyakit Infeksi Prof. Sri Oemiyati Kompleks Pergudangan Kemenkes Gedung 01, Jakarta.
Syahril yang juga menjabat sebagai Dirut RSPI Sulianti Saroso mengatakan Monkeypox adalah penyakit zoonosis yang kali pertama ditemukan di Denmark pada 1958. Saat itu terdapat dua kasus cacar yang muncul pada kera yang dipelihara untuk kegiatan penelitian yang dinamakan Monkeypox.Monkeypox menular pada manusia kali pertama sejak 1970 di Republik Kongo. Kemudian menjadi endemik di Afrika Barat dan Afrika Tengah, yakni Kamerun, Republik Afrika Tengah, Nigeria, Ivory Coast, Liberia, Ghana, Sierra Leone, Gabon dan Sudan Selatan.
Sejak 13 Mei 2022, ada 28 negara nonendemis melaporkan Monkeypox, di antaranya 1.536 kasus suspek di Afrika dan 1.285 kasus terkonfirmasi di Eropa, Amerika dan Australia.
Menurut Syahril, masa inkubasi Monkeypox berkisar 5-13 hari atau 5-21 hari sejak tertular. Terdapat dua periode inkubasi, yakni masa invasi selama 0-5 hari, demam tinggi, sefalgia berat, limfadenopati, myalgia dan astenia.
Selanjutnya adalah masa erupsi berkisar 1-3 hari usai mengalami demam serta terjadi ruam pada kulit. "Ruam 95 persen mengenai wajah, telapak tangan dan kaki 75 persen, Mukosa 70 persen, alat kelamin 30 persen, selaput lendir mata 20 persen.
"Monkeypox akan sembuh dengan sendirinya dalam dua hingga empat pekan," katanya.
Menurut Syahril, kelompok paling rentan tertular berasal dari kalangan anak-anak, usia 40-50 tahun dan penderita imunocompromissed atau mereka yang mengalami permasalahan pada sistem imun.
Kejadian komplikasi yang mungkin terjadi adalah infeksi sekunder, bronkopneumonia, sepsis, ensefalitis, infeksi kornea sehingga menyebabkan kebutaan.Syahril menambahkan Monkeypox bisa menular dari hewan ke manusia saat terjadi kontak langsung dengan darah monyet, tikus, tupai. Cairan tubuh juga menjadi media penularan seperti lesi kulit atau lesi mukosa dari hewan yang terinfeksi.
"Daging hewan liar yang terinfeksi atau bush meat, juga dapat menjadi rute penularan penyakit," katanya.
Sedangkan transmisi dari manusia ke manusia dialami saat terjadi kontak langsung pada darah, cairan tubuh, atau lesi kulit atau mukosa. "Bisa melalui saluran napas saat kontak erat dalam waktu lama, misalnya gigitan, goresan dan lainnya," katanya.
Selain itu, kata Syahril, penularan Monkeypox juga memungkinkan terjadi dari ibu ke bayi melalui transmisi via plasenta.
Sementara itu Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa menegaskan bahwa tidak benar ada anggota TNI AD yang terkena cacar monyet atau monkey pox.
Hal itu disampaikan KSAD untuk menepis kabar miring yang viral di media sosial tentang anggota TNI AD yang terkena cacar monyet, usai memberikan pengarahan kepada prajurit Kopassus, di Makopassus, Jakarta Timur, Senin.
Dalam narasinya, anggota TNI tewas karena terkena penyakit yang ditemukan di benua Afrika itu. Anggota tadi kemudian di rawat di RSPAD dan tidak tertolong.Andika menyatakan kabar tersebut tidak benar. Ia mengonfirmasi bahwa belum ada kasus itu di Indonesia.
"Saya persilakan dokter Anjar untuk menjelaskan. Beliau adalah ahli penyakit dalam di RSPAD," ujar Andika.
Ketika disinggung apakah kasus tersebut akan diusut kepada pembuat narasi hoaks, Andika menegaskan tidak akan mencari pelaku.
"Kita tidak akan mencari dan tidak perlu. Hanya informasi ini ga usah lagi dipercaya. Karena gak benar, seperti yang diberitakan di medsos," tegasnya.
Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto Jakarta Kolonel (Ckm) dr. Anjar Budi Astoro, mengatakan narasi pada informasi yang viral disebutkan anggota TNI mempunyai titik-titik di tangannya.
Menurut Anjar informasi tadi bagus karena memberikan keterangan dan sekaligus penyuluhan tentang bagaimana membuat dan mencegah atau menangkal cacar monyet masuk ke Indonesia.
"Tetapi, yang tidak enaknya bahwa yang sakit itu anggota TNI," ujar Anjar.
Menurut dia, anggota yang dimaksud dalam video tadi merupakan Babinsa asal Lampung, tetapi anggota itu tidak mengidap penyakit cacar monyet.
"Anggota ini, sudah dirawat beberapa hari tapi tidak ada perbaikan. Terakhir ada mimisan kemudian muncul bercak-bercak. Ada gangguan darah yang memunculkan bintik-bintiknya. Setelah kita evakuasi ke RSPAD sudah semakin berat dan waktu itu gejala yang menonjol adalah kekurangan darah," jelasnya.