Bandung (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Jawa Barat menaikkan alokasi anggaran untuk sektor infrastruktur dan kesehatan hingga dua kali lipat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBDP) 2025 sebagai strategi mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sekretaris Daerah Jawa Barat (Sekda Jabar) Herman Suryatman dalam konferensi pers di Gedung Sate Bandung, Selasa, mengatakan peningkatan anggaran itu menjadi bagian dari strategi pemerintah daerah guna mendorong pertumbuhan ekonomi melalui skema belanja pemerintah (government spending).
Herman menyebut total alokasi anggaran infrastruktur dalam APBD Perubahan 2025 mencapai Rp4,9 triliun, naik sebesar Rp2,7 triliun dari APBD murni yang sebelumnya hanya Rp2,1 triliun.
"Ini angka yang sangat tinggi, kenaikannya ekstrem," ujar Herman.
Untuk anggaran kesehatan, menurut Herman, juga meningkat menjadi Rp2,5 triliun atau naik Rp81,3 miliar.
Kemudian untuk sektor ketahanan pangan naik Rp64,2 miliar menjadi Rp767 miliar, dan sektor pendidikan tetap menjadi prioritas dengan peningkatan Rp120 miliar menjadi Rp11,3 triliun.
"Semua kebutuhan dasar masyarakat kami atensi. Angka-angka ini menunjukkan komitmen serius Pemprov Jabar," kata Herman.
Untuk menopang belanja tersebut, Herman mengatakan Pemprov Jabar menargetkan pendapatan daerah sebesar Rp31 triliun, dengan mengandalkan kontribusi utama dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) sebesar Rp9,7 triliun.
Target tersebut terdiri dari Rp6,2 triliun untuk PKB dan Rp3,5 triliun dari BBNKB, termasuk program pemutihan pajak yang digagas Gubernur Jabar Dedi Mulyadi.
"Target ini memang progresif, tapi pelayanan publik harus tetap berjalan. Ini jadi pemacu semangat kami," katanya.
Pasalnya, kata Herman, peningkatan anggaran tersebut sejalan dengan visi Gubernur Dedi Mulyadi untuk menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tangguh berbasis pembangunan berkelanjutan.
Meski demikian, Pemprov Jabar mengakui tantangan yang dihadapi tidak ringan, seperti meningkatnya penggunaan kendaraan listrik di masyarakat menyebabkan potensi penurunan pendapatan dari sektor PKB dan BBNKB, karena adanya kebijakan subsidi dan keringanan pajak.
"Sehingga ini perlu dimitigasi karena kendaraan listrik tidak menyumbang pendapatan daerah. Kami berikhtiar maksimal agar target pendapatan tercapai dan pembangunan tidak terhambat," ujar dia.
