Bandung (ANTARA) - Dosen Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Suwatno menilai pergantian nama RSUD Al Ihsan menjadi Welas Asih oleh Gubernur Jabar Dedi Mulyadi yang kini berpolemik, cerminan pengambilan keputusan yang minim partisipasi publik.
"Apakah pernah dilakukan survei atau minimal public hearing? Apakah ada aspirasi masyarakat yang benar-benar menuntut penggantian nama? Ataukah ini sekadar refleksi selera pribadi yang dibungkus dalam dalih kebudayaan?," kata Suwatno dalam keterangan di Bandung, Kamis.
Baca juga: Polemik RSUD Al Ihsan ganti nama cerminan pola putusan minim aspirasi publik
Baca juga: Dikritik ganti nama RSUD Al Ihsan, KDM kenalkan logo kujang RSUD Welas Asih
Pemerintahan daerah, kata dia, semestinya tidak gegabah dalam membuat keputusan yang berimplikasi luas tanpa riset sosial yang memadai.
Dan ketimbang pergantian nama, akan jauh lebih bermanfaat jika energi, anggaran, dan perhatian difokuskan pada perbaikan sistem layanan, peningkatan kualitas SDM, serta pembenahan infrastruktur RSUD Al Ihsan yang sudah ada.
Perubahan nama institusi, kata dia, tidak akan serta merta mengubah kualitas pelayanan, karena branding bukan hanya soal nama, tapi juga soal pengalaman, persepsi, dan reputasi yang dibangun melalui kerja keras dan dedikasi.
"Jika layanan kesehatan masih lamban, antrean pasien masih panjang, keluhan masyarakat masih banyak, maka mengganti nama tidak akan membawa perubahan berarti. Malah justru bisa menimbulkan kesan bahwa pemerintah daerah lebih sibuk mengurus simbol ketimbang substansi," ucapnya.
Dia juga mempertanyakan apakah mengganti nama rumah sakit daerah merupakan kebijakan yang mendesak dan nama Al Ihsan tidak merepresentasikan nilai-nilai lokal, ataukah hanya ekspresi subjektivitas yang dibungkus jargon politik budaya.
Mengingat, perubahan nama merek atau renranding yang merupakan proses strategis untuk mengubah elemen-elemen identitas satu organisasi atau institusi, seperti nama, logo, slogan, desain visual, citra, maupun nilai-nilai merek, guna membentuk persepsi baru di benak konsumen agar relevan, kompetitif, atau sesuai arah dan visi baru, bukanlah hal yang sederhana, terlebih ini institusi layanan publik.
Pasalnya, kata dia, dalam dunia komunikasi dan manajemen merek, nama bukan hanya simbol semata, tapi representasi dari reputasi, sejarah, persepsi masyarakat, dan nilai-nilai yang sudah tertanam dalam benak publik. Dan Al Ihsan bukan sekedar nama nuansa Arab, tapi brand yang dikenal, dan melekat dalam top of mind masyarakat.
"Mengubahnya berarti mengulang proses panjang membangun awareness, citra, dan kepercayaan dari nol. Setiap brand membawa investasi yang tak ternilai dalam bentuk memori kolektif. Lalu, (jika) dengan mudahnya diganti seolah hanya memindahkan papan nama, justru menunjukkan betapa kebijakan ini tampak lebih politis daripada rasional," ujarnya.
Karena pergantian nama tentu tidak sekadar memodifikasi baliho atau mengganti desain logo di kop surat, tapi ada konsekuensi biaya besar yang mengikuti, mulai dari cetak ulang dokumen, desain ulang atribut visual, penggantian logo di ambulans, seragam, bangunan, papan petunjuk arah, hingga sistem informasi digital.
Lebih jauh, menurut Suwatno, kata "Ihsan" dalam nama Al Ihsan itu sendiri memiliki konotasi positif yakni kebaikan, keikhlasan, dan pelayanan optimal, yang mengandung nilai-nilai sejati sebagai dasar moral pelayanan kesehatan dan tentu sejalan dengan semangat kemanusiaan universal, tidak bertentangan dengan kearifan lokal, bahkan sangat kompatibel dengan nilai Islam yang diyakini oleh mayoritas warga Jawa Barat.
"Bukankah itu semua sesuai? Bahkan realitas sosial menunjukkan bahwa masyarakat Sunda memiliki hubungan historis dan kultural yang erat dengan Islam," katanya.
Nama bernuansa Arab, kata dia, dianggap religius bukan asing, dan nama "Ihsan" sendiri disebutnya lebih netral dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia yang menggunakan nama bernuansa "Arab-Islam" dalam penamaan RSUD dengan tetap mengakar pada konteks lokal, seperti RSUD Syekh Yusuf di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
"Itu diambil dari nama Syekh Yusuf Abul Mahasin al-Maqassari, seorang ulama besar, tokoh tarekat, pejuang anti-kolonial, dan pahlawan dari Sulawesi Selatan. Jika ada yang berpendapat perbandingan tersebut tidak apple to apple, maka kita bisa pula mengatakan bahwa justru nama 'Ihsan' lebih netral dibanding nama tokoh penyebar agama Islam yang lebih 'ideologis'," ujarnya.