Banyak pengendara melempar koin sebagai bentuk saweran untuk keselamatan saat melintas di jembatan tersebut.
"Dulu bisa sampai Rp50.000 sehari (hasil dari sapu koin), sekarang paling Rp20.000 sampai Rp25.000," ujar Tursini kepada ANTARA.
Meski jumlahnya tak seberapa, dia mengakui uang itu tetap berarti untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tradisi yang dilakukan oleh warga sekitar dengan menggunakan sapu lidi untuk mengumpulkan uang logam yang dilemparkan pemudik tetap bertahan meskipun ada imbauan dari aparat kepolisian agar kebiasaan itu dihentikan demi keselamatan.
Kepala Polsek Sukra Polres Indramayu Ipda Nanang Dasuki menegaskan pihaknya telah berupaya mengedukasi warga tentang bahaya aktivitas ini bagi keselamatan mereka maupun pengguna jalan.
Namun, imbauan tersebut belum sepenuhnya dituruti.
Terlepas dari hal tersebut, bisa dibilang bahwa keberadaan para penyapu koin di Jembatan Sewo Indramayu tetap menjadi salah satu tradisi unik yang bisa ditemukan saat arus mudik Lebaran.
Di sisi lain Jalur Pantura, kebijakan penutupan titik putar balik atau u-turn pada akhirnya mendorong warga sekitar untuk membangun jembatan darurat dari bambu dan papan kayu di kolong jembatan.
Jembatan dengan tinggi sekitar 1,5 meter hingga 2 meter ini menjadi akses alternatif bagi pemotor yang enggan memutar sejauh 3 km hingga 5 km.
Yana Suryana, warga setempat, menjelaskan pembangunan jalur ini dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Tidak ada tarif resmi, namun mereka menerima sumbangan seikhlasnya dari para pengguna jalan.
“Kami tidak menetapkan tarif, tetapi menerima sumbangan seikhlasnya. Ada yang memberi Rp1.000, Rp2.000, atau bahkan Rp5.000,” ujarnya.
Dalam sehari, para penjaga ini bisa mengumpulkan sumbangan hingga Rp2 juta.
Rencananya, jalur darurat ini akan beroperasi hingga arus balik selesai dan kepadatan lalu lintas kembali normal.
Sebagian pemudik menilai jalur darurat ini bisa menjadi alternatif untuk memangkas waktu perjalanan, meskipun kondisinya cukup berisiko.
Nelayan pun mudik