Di lingkungan tempat tinggal mereka, Habibie kerap menjadi asing. Bocah seusianya menjauh, bingung menghadapi anak yang tak berbicara.
Anaknya sering bermain sendiri, sementara Imas hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, hatinya perih. Namun, dia akhirnya menemukan kekuatan dan meyakini meski Habibie berbeda, tetapi kehadirannya telah menjadi anugerah.
Berdamai
Ia kemudian mulai mencari komunitas yang mampu memahami kondisi anaknya. Perjalanan itu membawanya bertemu kelompok difabel desa (KDD).
Di komunitas tersebut, Imas menemukan keluarga baru yakni orang-orang yang menghadapi perjuangan serupa dan saling menguatkan.
Komunitas ini mendapat perhatian dari pemerintah daerah, yang secara rutin mengadakan pertemuan bulanan.
Dalam pertemuan itu, orang tua seperti Imas dibekali ilmu hingga wawasan tentang cara mendidik anak difabel dengan pendekatan yang tepat.
Sebagai contoh, dia belajar untuk tidak melarang anak difabel secara langsung, melainkan mengalihkan mereka ke hal yang lebih positif.
Dari komunitas itu, Imas belajar melihat Habibie dengan cara berbeda. Anak laki-laki yang dipandang oleh sebagian orang sebagai sosok penuh keterbatasan ternyata menyimpan keajaiban.
Seiring berjalannya waktu, Habibie menunjukkan bakat luar biasa dalam menggambar dan merangkai benda.