Cirebon (ANTARA) - Di sudut Desa Tuk Karangsuwung, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, cahaya mentari menyusup melalui celah dedaunan.
Di beranda rumahnya, Muhammad Hafidz Habibie duduk tenang, matanya berbinar mengamati potongan-potongan puzzle yang berserakan di hadapannya.
Jemarinya yang mungil bergerak gesit, satu per satu kepingan itu disusun menjadi gambar kereta yang utuh. Tak ada keraguan dan tak ada jeda, seolah dunia Habibie menyatu dalam harmoni yang hanya ia pahami.
Di sampingnya, sang ibu, Imas Latifah, memperhatikan dengan seksama. Senyum tipis yang tersungging di wajahnya seolah menyimpan seribu rasa.
Habibie, si bungsu sekaligus satu-satunya anak laki-laki di keluarganya itu adalah pelita kecil, dalam perjalanan hidup Imas yang penuh ujian.
Kepada ANTARA, dia bercerita, sejak lahir Habibie sudah menunjukkan keistimewaan. Tidak ada tangisan yang biasanya menjadi penanda pertama seorang bayi memasuki dunia.
Diamnya anaknya itu terus berlanjut hingga berusia satu tahun. Ketika anak-anak lain mulai berceloteh, Habibie tetap hening. Dalam kondisi itu, hati Imas tergerak mencari jawaban.
Saat diperiksa, dokter akhirnya memberi kepastian bahwa anaknya adalah difabel wicara.
Dia mengakui kala itu dunianya seketika berubah. Rasa syukur dan harapan yang dulu mengiringi kelahiran Habibie perlahan tergantikan oleh kekhawatiran akan masa depan.
“Walaupun kondisinya demikian, saya langsung memutuskan untuk berjuang demi masa depan anak bungsu saya,” ujarnya.