Lebih lanjut, menurut Syarif, pengusaha sebagai pemilik modal, dan penguasa atau pemerintah, bagaikan dua sisi rel yang berdampingan namun tak bersinggungan karena adanya bantalan rel yang merupakan aturan hukum.
"Kalau bersinggungan itu lekat dengan KKN. Kalau kereta itu pasti terjungkal. Tapi nampaknya ini kurang disadari, karena justru sekarang pemodal justru mereka memodali politik, jadi kekuasaan sudah bahkan diijon duluan, dengan bahkan ancaman bahwa jika tidak terlibat akan dipersulit," ujarnya.
Sebagai solusi, harus ada pemisahan yang jelas melalui penegakan aturan hukum. Dan karena politik merupakan rekrutmen kepemimpinan yang merupakan aspirasi rakyat, menyebabkannya sebagai urusan negara.
Karenanya, partai politik, proses politik harus dibiayai negara sehingga bisa membatasi, dan mengatur seketat mungkin keterlibatan dana swasta di dalam kegiatan politik dan organisasi politik.
Pengetatan dana dari pihak swasta, kata dia, harus jelas sumber dananya, motifnya, hingga pembatasan jumlahnya.
"Harus ada asesmen dari pemerintah, kalau misalnya dia menyumbang di partai A, apakah hanya partai A yang disumbang? Apakah partai B dan seterusnya misalnya? Begitu juga dengan calon. Jadi semua harus transparan. Kalau seperti itu, maka dana swasta itu pasti boleh. Karena mendukung kegiatan politik, bukan politisi, seperti di Amerika, tidak subjektif," ucapnya.
Keluaran dari diskusi ini, ditambahkan Syarif, yang utama adalah peningkatan kapasitas masyarakat sipil, dalam hal ini kesadaran bahwa kontrol masyarakat sipil, termasuk kampus di dalamnya diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Alumni Unpad Pro Demokrasi: Kapasitas masyarakat sipil perlu dikembangkan untuk "check and balance"
Rabu, 4 Desember 2024 8:32 WIB