Tanpa canggung perempuan berkerudung ini mengaku setelah ditinggal pergi suami dan resmi bercerai dua setengah tahun lalu, ia tak punya pilihan lain selain pulang ke kampungnya meski harus tinggal di gubuk dekat hutan yang jauh dari pemukiman warga desa setempat.
Sebelumnya dia tinggal ikut suami menempati rumah sederhana belasan tahun silam di Desa Bambaloka, Kecamatan Baras, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Setelah resmi bercerai sempat ia mencoba bertahan menjadi buruh harian di Baras, tapi bayang romantisme masa lalu yang kandas selalu menghantui batinnya.
Hingga pada awal Agustus 2021, Marni membulatkan tekad membawa Abdul, Mira, dan Fadly -- nama ketiga anaknya-- pulang ke Batetangnga. Dengan ongkos seadanya mereka mesti estafet naik turun kendaraan untuk tiba di Binuang dengan beberapa kardus berisi pakaian.
Butuh waktu 10-12 jam melintasi Jalan Poros Majene-Mamuju dan beberapa kali naik turun mobil, kemudian harus dilanjutkan menumpang ojek motor ke kampungnya di ujung perbukitan Desa Batetangnga.
Saat itu pula kehidupan anak-anak Marni berubah drastis. Jangankan bersekolah, untuk waktu tidur nyenyak di rumah yang layak dan bermain seperti anak-anak pada umumnya pun mereka tak punya.
Putra sulungnya, Abdul (14), mesti bekerja di sebuah peternakan ayam untuk membantu perekonomian keluarga. Dalam satu bulan mendapatkan upah Rp500 ribu.
Begitupun Mira Wati (12) yang mesti membantu kerja apa saja mulai dari menjual cabai sisa panen di ladang saudaranya hingga membantu petik dan semai biji Kakao dengan upah Rp200 ribu – Rp300 ribu per bulan.
Hanya di gubuk berukuran 2x3 meter itulah mereka berlindung, melepas penat setelah bekerja seharian. Badan mereka mesti disusun sedemikian rupa demi mencukupkan ruang antara alas tidur, perabotan dapur, dan tumpukan pakaian supaya semua bisa beristirahat.
Meski sudah dibuat se-nyaman mungkin, tapi mereka tak mampu menghindar dari dinginnya malam. Atap anyaman daun yang mengering dan pintu berlapis kain itu sudah semakin tak kuasa menahan guyuran hujan berikut hembusan angin perbukitan.
Marni mengatakan bahwa kondisi ini yang membuat putra bungsunya, Fadly, hampir setiap malam selalu merengek minta dipeluk untuk menghangatkan tubuhnya. Dalam renungan malam ia kerap menangis melihat kenyataan yang melanda sang buah hati.