Jakarta (ANTARA) - Seorang perempuan paruh baya berjalan tergesa menapaki tebing perbukitan terjal. Raut wajahnya murung penuh kebingungan, sambil menenteng berkas yang dibungkus kantong plastik.
Tampak kepalanya terus mendongak menatap langit seolah sudah hapal pada tanah basah berbatu yang menjadi tumpuan kaki dengan sandal jepit yang nyaris putus itu.
Warga setempat memanggilnya dengan sapaan Amma Mar. Siang itu, dia baru saja bertandang memenuhi panggilan kepala desa di kantornya.
Setelah sekitar 20 menit berjalan hingga dahi berkeringat, tibalah ia pada sebuah gubuk kayu tambal sulam beratap daun rumbia yang berada tepat di punggung bukit berkemiringan lebih kurang 50 derajat.
Gubuk yang tertambat pada pohon kelapa dan dikelilingi rimbun pohon Kakao muda tersebut ternyata adalah rumah bagi sang Amma -- Ibu dalam bahasa Mandar -- ini.
“Ya, di sinilah rumah saya, tempat berlindung yang kami punya,” kata perempuan bernama lengkap Marni (43), warga Desa Batetangnga, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat ini.