Bandung (ANTARA) -
Dalam aturan yang ada, untuk lokasi tempat pemungutan suara khusus, data pemilih harus ditetapkan maksimal tujuh hari sebelum hari pemungutan suara.
"Lokasi khusus itu harus ada data-data pemilih yang ditetapkan, seperti di rumah sakit, itu DPT-nya tenaga kesehatan dan pegawai rumah sakit. Kemudian pasien yang didata berdasarkan nama dan alamatnya yang tidak bisa nyoblos di TPS asal, namun 'kan ada kesulitan soal pasien," kata Koordinator Bidang Teknis KPU Provinsi Jabar Adie Saputro di Bandung, Rabu malam.
Ia mengatakan bahwa untuk pasien yang sedang rawat inap di rumah sakit merupakan pemilih yang dinamis karena kemungkinan adanya pasien yang pulang dan datang sehingga menyebabkan pihak rumah sakit kesulitan mendata.
"Sedangkan yang kita butuhkan adalah data tetap untuk kemudian dialihkan surat suaranya dari TPS asal. Ini yang menyulitkan karena kami menjaga agar tidak ada pemilih ganda, jadi tidak mudah karena kadang tidak ter-cover," kata Adie.
Kendati demikian, KPU Jabar akan melaporkan hal itu kepada KPU RI dalam berita acara, termasuk usulan Penjabat Gubernur Jabar Bey Machmudin soal fleksibilitas aturan data pemilih maksimal H-7 bagi pasien yang sedang rawat inap di rumah sakit.
"Kalau itu, kita laporkan ke KPU RI tentu ya. Tadi juga disampaikan di dalam teleconference (oleh Pj. Gubernur Jabar) soal ini. Itu karena yang membuat kebijakan adalah KPU Pusat," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Jabar Zacky Muhammad Zamzam mengatakan kendala pasien rumah sakit tidak bisa mencoblos karena ada aturan maksimal pendaftaran daftar pemilih tambahan (DPTb) maksimal tujuh hari sebelum pencoblosan."Karenanya banyak hak pilih masyarakat secara umum Jawa Barat itu tidak bisa memilih karena kendala tadi, khususnya di rumah sakit, karena 'kan tidak bisa memproyeksikan apakah yang bersangkutan akan dirawat di rumah sakit atau tidak, 'kan sulit," ujarnya.
Menurut Zacky, ada kesalahan informasi dan persepsi dari pihak rumah sakit karena seharusnya berlaku bagi tenaga kesehatan dan pasien.
"Namun, tadi saya lihat statement orang rumah sakit ternyata dikhususkan untuk nakes, padahal 'kan perspektifnya tidak seperti itu. Banyak warga yang tidak bisa memilih hanya karena prosedur administratif yang tidak terpenuhi, lagi-lagi ini adalah regulasi yang sudah ditetapkan oleh KPU," ucapnya.
Zacky mengakui akan sulit untuk saat ini memastikan apakah pasien bisa ikut memilih dalam pemungutan suara susulan karena berkaitan dengan regulasi.
"Tetapi, kami sebenarnya sudah sering rapat dengan KPU, lapas, termasuk rumah sakit yang kita rekomendasikan adalah itu, tetapi KPU menyatakan tidak bisa karena regulasi PKPU yang wilayahnya di pusat. Namun, jika melihat peristiwa seperti ini, seharusnya regulasi prosedur administrasinya bisa lebih lentur. Kami juga akan memasukkan ini ke laporan hasil pengawasan di rumah sakit," tuturnya.
Sebelumnya, Penjabat Gubernur Jabar Bey Triadi Machmudin menyoroti mayoritas pasien yang rawat inap di rumah sakit daerah setempat tidak bisa menggunakan hak suaranya pada Pemilu 2024, padahal ada TPS di rumah sakit tersebut. Namun, TPS itu untuk para karyawan rumah sakit.
Alasannya karena pasien tidak terdaftar dalam DPTb yang maksimal harus didaftarkan H-7 sebelum tanggal 14 Februari 2024.
"Harusnya sudah fleksibel untuk pasien soal DPTb H-7 itu, harapannya semua orang bisa menggunakan hak pilihnya," ujarnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Begini penjelasan KPU Jabar soal pasien rumah sakit tak bisa nyoblos