Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Barat menjelaskan alasan banyak pasien rawat inap di rumah sakit yang tidak bisa memberikan hak suaranya pada Pemilu 2024, Rabu, karena ada aturan yang mengatur tempat pemilihan khusus.
Dalam aturan yang ada, untuk lokasi tempat pemungutan suara khusus, data pemilih harus ditetapkan maksimal tujuh hari sebelum hari pemungutan suara.
"Lokasi khusus itu harus ada data-data pemilih yang ditetapkan, seperti di rumah sakit, itu DPT-nya tenaga kesehatan dan pegawai rumah sakit. Kemudian pasien yang didata berdasarkan nama dan alamatnya yang tidak bisa nyoblos di TPS asal, namun 'kan ada kesulitan soal pasien," kata Koordinator Bidang Teknis KPU Provinsi Jabar Adie Saputro di Bandung, Rabu malam.
Ia mengatakan bahwa untuk pasien yang sedang rawat inap di rumah sakit merupakan pemilih yang dinamis karena kemungkinan adanya pasien yang pulang dan datang sehingga menyebabkan pihak rumah sakit kesulitan mendata.
"Sedangkan yang kita butuhkan adalah data tetap untuk kemudian dialihkan surat suaranya dari TPS asal. Ini yang menyulitkan karena kami menjaga agar tidak ada pemilih ganda, jadi tidak mudah karena kadang tidak ter-cover," kata Adie.
Kendati demikian, KPU Jabar akan melaporkan hal itu kepada KPU RI dalam berita acara, termasuk usulan Penjabat Gubernur Jabar Bey Machmudin soal fleksibilitas aturan data pemilih maksimal H-7 bagi pasien yang sedang rawat inap di rumah sakit.
"Kalau itu, kita laporkan ke KPU RI tentu ya. Tadi juga disampaikan di dalam teleconference (oleh Pj. Gubernur Jabar) soal ini. Itu karena yang membuat kebijakan adalah KPU Pusat," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Jabar Zacky Muhammad Zamzam mengatakan kendala pasien rumah sakit tidak bisa mencoblos karena ada aturan maksimal pendaftaran daftar pemilih tambahan (DPTb) maksimal tujuh hari sebelum pencoblosan.
Dalam aturan yang ada, untuk lokasi tempat pemungutan suara khusus, data pemilih harus ditetapkan maksimal tujuh hari sebelum hari pemungutan suara.
"Lokasi khusus itu harus ada data-data pemilih yang ditetapkan, seperti di rumah sakit, itu DPT-nya tenaga kesehatan dan pegawai rumah sakit. Kemudian pasien yang didata berdasarkan nama dan alamatnya yang tidak bisa nyoblos di TPS asal, namun 'kan ada kesulitan soal pasien," kata Koordinator Bidang Teknis KPU Provinsi Jabar Adie Saputro di Bandung, Rabu malam.
Ia mengatakan bahwa untuk pasien yang sedang rawat inap di rumah sakit merupakan pemilih yang dinamis karena kemungkinan adanya pasien yang pulang dan datang sehingga menyebabkan pihak rumah sakit kesulitan mendata.
"Sedangkan yang kita butuhkan adalah data tetap untuk kemudian dialihkan surat suaranya dari TPS asal. Ini yang menyulitkan karena kami menjaga agar tidak ada pemilih ganda, jadi tidak mudah karena kadang tidak ter-cover," kata Adie.
Kendati demikian, KPU Jabar akan melaporkan hal itu kepada KPU RI dalam berita acara, termasuk usulan Penjabat Gubernur Jabar Bey Machmudin soal fleksibilitas aturan data pemilih maksimal H-7 bagi pasien yang sedang rawat inap di rumah sakit.
"Kalau itu, kita laporkan ke KPU RI tentu ya. Tadi juga disampaikan di dalam teleconference (oleh Pj. Gubernur Jabar) soal ini. Itu karena yang membuat kebijakan adalah KPU Pusat," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Jabar Zacky Muhammad Zamzam mengatakan kendala pasien rumah sakit tidak bisa mencoblos karena ada aturan maksimal pendaftaran daftar pemilih tambahan (DPTb) maksimal tujuh hari sebelum pencoblosan.